Hari sudah menjelang siang tidak
ada tanda-tanda keberadaan Eirene. Aku dan Ananta sudah mencari sejak kemarin siang
setelah kami berkunjung ke rumah mama dan papa. Lelah yang aku rasakan tidak aku
ceritakan pada Ananta, ia terlalu bersemangat mencari Eirene dan aku tidak mungkin
tega mengeluh sehingga mematahkan semangat Ananta. Kami baru saja menyusuri taman
kota yang menuryt Ananta menjadi tempat bermain anak-anak di waktu sore. Menurutnya
juga taman ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi oleh dirinya dan putri
kecil kami.
"Sepi sekali." Ananta menggumam.
Mataku pun ikut jelalatan melihat area taman yang bisa dikatakan
luas dan asri. Benar kata Ananta, taman ini terlalu sepi.
"Mungkin
taman ini ramai pada sore hari." Ucapku memberi nilai positif pada taman yang
terlihat menyedihkan ini.
Ananta tampak mengangguk-anggukan
kepalanya. "Sudah siang, Pap. Kita cari makan dulu saja." Usul Ananta.
Aku pun hanya mengangguk dan mulai kembalu berkonsentrasi untuk menyetir. Kembali
beradu cepat dengan kendaraan lainnta di ibukota membuatku mulai jengah. Mungkin
karena terlalu lelah menyetir atau juga lelah karna rasa lapar dan bosan yang mulai
mengintimidasi diriku. Lagi-lagi aku memilih diam dan tidak mwnceritakan apapun
pada Ananta.
"Kita makan nasi di sebelah sana
saja, Pap." Tunjuk Ananta pada sebuah rumah makan masakan padang yang berada
di seberang jalan.
"Kamu mau makanan nasi padang?"
"Iya. Aku kira itu tempat makan
terdekat sehingga kita bisa kembali lagi ke taman tadi."
Tak banyak pembicaraan yang aku buat
sepanjang hari ini dengan Ananta. Ia kebih banyak mencari topik pembicaraan, sedangkan
aku lebih banyak diam dan menyruti permintaannya. Aku hanya menghela nafas, memikirkan
apa yang aku lakukan dengan Ananta sejak kemarin siang akankah membuahkan hasil.
Sepuluh tahun sudah waktu telah berlalu dan wajah Eirene pasti sudah berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment