Selasa, 13 Maret 2012

Cinta yang Menyembuhkan


Kata ayahku, aku adalah permatanya. Kata bundaku, aku adalah berlian kesayangannya. Sahabatku menganggap aku adalah emas mereka yang paling berharga. Begitu bernilainya diriku di mata mereka, tapi aku juga masih belum puas. Masih ada yang kurang. Masih ada yang hilang. Dia. Dirinya tak pernah menganggapku ada. Baginya aku hanyalah benalu bagi kehidupannya. Tak pernah sedikit pun ia melihat aku ataupun merasa diriku ini berharga bagi dirinya. Mungkin aku bodoh, mungkin aku sangatlah bodoh. Karna bagaimanapun perlakuannya pada diriku, ia adalah jantung hatiku, belahan jiwaku yang tak pernah ingin ku lepas.
Aku masih ingat dirinya berniat memberikan ku kejutan dan hadiah saat ulang tahunku yang ke-16. Ia menelponku malam-malam dan berusaha mengorek informasi barang kesukaanku.
“Kamu lagi apa?” Tanyanya di awal percakapan kami lewat telpon saat itu.
“Lagi nonton tv aja, kamu?”
“Sama. Oh, ya, kamu suka boneka?” Tanyanya tiba-tiba.
“Hmm.. suka.” Jawabku singkat.
“Boneka apa?”
“Apa saja.” Jawab ku lagi yang sedang asyik menonton film favoritku.
“Kamu itu lagi nonton apa, sih?” Tanyanya yang agak tersinggung karna tak kuperhatikan.
“Hm.. Harry potter.” Jawabku yang masih terus menonton tanpa mempedulikan kemarahannya.
Barulah setelah itu ia benar-benar menunjukkan rasa marahnya. Ia tiba-tiba saja menuutup telponnya dan membiarkan aku diam mematung. Sesaat kemudian ku terus mencoba menghubungi nomornya kembali, tapi seperti balas dendam, ia pun tak menjawab telpon dari ku. Berkali-kali aku mengirimkan pesan pendek, bahwa aku meminta maaf karna aku tak memperhatikan kata-katanya di telpon.
“Halo,” Sapaku agak ragu saat akhirnya telponku diangkat olehnya.
“…” Tak ada suara dan aku hanya menghela nafas.
“Aku minta maaf.”
“Udah selesai nontonnya?” Tanya menyindir.
Entah kenapa aku sangat sayang sekali padanya bahkan saat ia memarahiku. “udah hehhe..” Jawabku dengan canda. “Udah dong, sayang. Jangan marah, ya!” Kataku lagi manja.  “Lagi pula siapa yang nggak perhatiin kamu? Aku perhatiin pertanyaan kamu, kok. Aku tuh suka banget sama Tweety. Aku pernah punya bantal Twety yang besar, tapi sudah rusak dan sekarang aku nggak punya boneka tweety yang besar, deh.” Curhatku.
Benar saja dugaanku, setelah ku bercerita panjang lebar, aku berhadil mengembalikan moodnya yang baik. Ia mulai terus menanyakn banya hal padaku. Sampai akhirnya ditanggal 17 september, ia memberikan ku sebuah boneka tweety. Boneka yang sampai saat ini masih ada di tempat tidurku.
Aku yang cerwet dan manja sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Ia cuek, jutek, dingin, tapi tetap saja di mataku ia adalah cowok sempurna. Cowok unik yang sangat menyayangi pacarnya. Tekadang aku sering memanggilnya beruang kutub. Dingin dan arogan, tapi penuh dengan perhatian kepada orang-orang yang disayanginya.
Harusnya aku sadar, tidak mungkin seekor burung kecil bersatu dengan beruang. Sama dengan ku dan dirinya. Watak ku yang lincah dan tak bisa dia, tak mungkin bisa bersatu dengan wataknya yang pendiam dan dingin. Namun, mengapa hati ini tetap sakit ketika yang terjadi adalah hubungan kami harus berakhir di tengah jalan. Aku begitu mengharapkan tweety dapat bersatu dengan polar bear.
***
“Tweeny, lagi apa?” Tegur Oci yang menghampiriku saat duduk di pantry.
“Eh, Ci. Lagi minum teh aja. Kamu mau?” Tanyaku menawarkan. Oci adalah teman cowok sekantor ku dan paling dekat denganku. Aku selalu mencari Oci saat teringat dengan mantanku untuk bercerita.
“Ah, jangan bohong, lu! Pasti lagi mikirin polar bear lu itu, kan?” Tuduhnya.
“Hhehhe…” Cengirku. “You know me so well, lah, Ci.” Jawabku sekenanya dan kembali menyeruput the yang sudah dingin.
“Tweeny…Tweeny.. Mau sampai kapan sih, lu mikirin dia? Lu nggak mau nyerah juga, meskipun dia udah tunangan?” Katanya to the point.
“Ocii.. lu tau gue lagi sedih, tapi ngomongnya ngena banget, sih?” Omelku agak kesal.
“Hahahahah..” Oci tertawa puas. Ia mengelus lembut rambutku yang sengaja hari ini ku urai. “Sakit, kan?” Tanyanya lembut.
Entah kenapa aku merasa tatapan mata Oci begitu hangat dan membuat aku menunduk malu. Aku takut dengan tatapan seperti itu. Tatapan yang membuatku merasa nyaman, tapi hanya sesaat. Karna setelah itu aku harus merasakan sakit yang tak ada obatnya.
“Aku mau nyembuhin sakit kamu, Tween.” Ucapnya lembut namun tegas. Penuh keyakinan. Membuat jantungku tiba-tiba berdegub lebih cepat.
Aku memberanikan diri untu menatapnya. Tatapan itu, masih dapat aku rasakan kehangatan lewat tatapan itu. Tatapan penuh dengan keyakinan, berbeda dengan yang pernah ku lihat.  “Makasih, Ci.” Kataku akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil keputusan terlalu cepat. Sepintas ku melihat raut kekecewaan di wajahnya, tapi bukan Oci kalau tidak cepat-cepat menyembunyikan wajahnya.
“You’re welcome my Tweety.” Rayunya. “By the way, balik, yuk! Tadi Pak Herry nyariin lu ke ruangan.” Katanya.
Aku pun menurut, melangkah keluar pantry dengan harapan yang baru. Oci menggenggam tanganku meski aku belum memutuskan menerima dirinya untuk menjadi pacar ku. Aku hanya merasa aman jika berada di dekatku dan setidaknya jika bersama dirinya aku tak perlu lagi merasakan kegalauan.  Akhirnya pun aku tau obat dari rasa sakit yang ku derita selama ini. CINTA.