Selasa, 08 April 2014

EIRENE (Something Happend)

“Kak, ini bagus untuk souvenir!” Usulku pada Kak Lintang seraya menunjukkan gelas berukuran tinggi yang dikemas dengan cantik.
Waktunya hanya tinggal dua bulan lagi. Ya, laki-laki yang telah melamar Kak Lintang akan benar-benar menjadi suaminya dua bulan lagi. Namanya Kak Aryo. Kak Aryo adalah orang yang baik, bijaksana, dan pengertian. Setidaknya penilaianku terhadap Kak Aryo sangat sempurna dan aku harap Kak Aryo merupakan pilihan yang tepat untuk Kak Lintang. Selain itu, Kak Aryo juga bisa dikatakan mapan karna ia sudah memiliki rumah sendiri meskipun karena rumah tersebut merupakan rumah warisan. Akan tetapi, ia sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai teknisi di sebuah pabrik dan penghasilannya pun terbilang cukup.
“Iya, bagus, sih. Tapi, harganya pasti mahal, Sen.” Gumam Kak Lintang, seperti biasa tanpa sadar hitung-hitungannya yang mantap membuatnya selalu berpikir panjang saat berbelanja. “Kita cari yang lebih murah saja.” Putusnya dan mengembalikan gelas cantik itu ke tempat semula. Aku sendiri hanya menggedikan bahuku. Tak berani berucap apapun pada Kak Lintang.
“Senja!” Suara besar milik Kak Fajar membuatku mencari sosok pria bertubuh tinggi itu.
“Eh, Fajar!” Kak Lintang yang lebih dulu melihat Kak Fajar langsung memanggilnya. Ia melambaikan tangannya mengisyaratkan agar Kak Fajar menghampiri kami.
Aku tahu Kak Fajar pasti dipaksa (lagi) oleh Kak Lintang untuk menjemputku. Entah sudah berapa kali aku meminta izin pada Kak Lintang agar bisa berpergian sendiri sejak peristiwa beberapa minggu lalu –saat aku pulang dari rumah Nanda- dan Kak Lintang tidak pernah memberikan izinnya. Ia memilih untuk meminta Kak Fajar yang menjemputku dan memberi perintah untuk mengantarkanku ke mana saja. Jelas saja walau Kak Fajar tak menolak, aku masih saja merasa sungkan padanya. Sikapnya dingin. Ya, masih saja dingin meskipun kami sudah berkali-kali pulang atau berngkat sekolah bareng, ataupun ke toko-toko langganan Eyang.
“Apa masih lama? Aku ada janji sma teman sekolah.” Ujar Kak Fajar saat sudah berada di toko yang kami kunjungi.
“Hanya sebentar lagi.” Ujar Kak Lintang tanpa peduli dengan wajah Kak Fajar yang sudah berlipat-lipat. Tangan Kak Lintang dan pandangannya fokus pada souvenir-souvenir cantik di hadapannya.
Aku bisa mendengar Kak Fajar berkali-kali mendengus kesal dan jelas membuatku merasa tidak enak padanya. “Kak Lintang, aku bisa pulang sendiri, kok. Kak Fajar kan ada janji sama teman sekolahnya, nggak apa-apa kan kalau pulang duluan. Kita juga sepertinya masih lama.” Bujukku pada Kak Lintang.
Kak Lintang menoleh padaku sebentar dan kemudian kembali melihat-lihat benda-benda di hadapannya. “Sebentar lagi pasti selesai.”
“Tapi, kak-“
“Bujukanmu tidak akan mempan. Kamu itu kan anak kesayangan Kak Lintang dan Eyang. Kalau terjadi apa-apa denganmu, pasti aku juga yang disalahkan.” Ujar Kak Fajar ketus. Tatapannya tajam mengarah padaku.
Aku tak berani menatap lama-lama kedua mata Kak Fajar. Entahlah, sejaka dulu Kak Fajar selalu memusuhiku sehingga perasaan takut itu sudah seakan mendarah daging denganku. Akhir-akhir ini memang Kak Fajar selalu berbut baik padaku, hanya saja kata demi kata yang keluar dari mulutnya selalu mampu membuatku sedih. Meskipun tidak selalu bicara panjang lebar, tapi kata-katanya nyelekit.
“Nah, sudah selesai!” Seru Kak Lintang yang membuyarkan lamunanku sekaligus membuatku bisa menghela nafas. Setidaknya Kak Fajar tidak menunggu terlalu lama. “Jar, kamu bawain ini, ya!” Pinta Kak Lintang lagi-lagi hanya pada Kak Fajar. Kantong plastic hitam berukuran besar sudah berada di tangan Kak Fajar, sedangkan aku tidak diperbolehkan membawa apapun.
“Kak, biar aku saja yang bawa.” Kataku seraya meraih kantong plastic hitam dari tangan Ka Fajar. Kak Lintang tidak lagi bersama kami, ia langsung berangkat ke kantoornya, sedangkan aku dan Kak Fajar harus ke tempat parkir untuk mengambil motor dan pulang membawa souvenir pernikahan Kak Lintang dan Kak Aryo.
“Siapa yang nikahan, siapa yang repot!” Umpat Kak Fajar seraya menyalakan mesin motornya.
“Ya, kan Kak Lintang saudara kita, Kak. Sudah seharusnya kita ikut dibuat repot dengan acara pernikahan ini, kan?” Kataku. Kak Fajar menggumam, tapi tak terdengar olehku dan aku pun tak berani menanyakan ucapannya.
Kejadiannya begitu cepat dan singkat. Bahkan aku tidak tahu bagaimana bisa terjadi karna yang aku tahu motor yang Kak Fajar dan aku gunakan sudah jatuh ke tanah berlapis batako. Souvenir milik Kak Lintang yang baru kami beli berhamparan dan beberapa terlihat rusak. Kakiku terasa nyeri sekali hingga rasanya aku ingin menangis.
“Hei! Kalau jalan hati-hati!” Seorang pria berteriak memaki kami. Pria itu ada di dalam sedan silver dan sepertinya enggan untuk keluar.
Kak Fajar yang sepertinya tidak terima dengan perlakuan pria ber-mobil mewah itu langsung menghampirinya. “Mestinya bapak yang hati-hati! Sudah tahu ini pasar jalannya masih saja kencang!” Maki Kak Fajar tak mau kalah. Aku masih mendengar perdebatan sengit yang malah membuat nyeri di kakiku semakin sakit sampai akhirnya mobil itu berlalu dari tempat kami dan Kak Fajar membantuku berdiri.
“Kamu nggak apa-apa? Apa kita perlu ke dokter? Aku dapat ini dari orang itu.” Bberapa lembar uang ratusan ribu ditunjukkan Kak Fajar padaku. Wajahnya nampak kahawatir denganku, tapi aku juga merasa Kak Fajar telah melakukan pemerasan pada pengguna mobil mewah tadi.
Aku menggeleng pelan. “Aku rasa nggak ada yang parah dengan luka baretku. Mungkin kita bisa gunakan uang itu untuk membeli barang-barang Kak Lintang yang rusak.”Putusku. “Tapi, mungkin kita bisa membelinya besok pagi? Aku rasa lukaku ini harus dibersihkan.” Kataku setengah memaksa. Sejujurnya memang tidak ada yang parah dengan lukaku, hanya saja aku masih bisa menjaga kebersihan apalagi untuk luka.

Kak Fajar mengangguk seraya membantuku naik ke atas motor. Sepanjang perjalanan Kak Fajar terus saja menanyakan lukaku dan memaksaku untuk ke dokter, tapi pendirianku tetap. Lagi pula aku lebih keras kepala dibanding dengannya.