Kamis, 24 Mei 2012

EIRENE (I'm not hate you)

"Ya, sudah, tapi jangan pulang terlalu larut, ya? Nanti aku suruh Fajar menjemputmu." Ujar Lintang.
***
Senja membereskan buku-buku catatannya dan alat-alat tulis yang berserakan di atas meja. Sepulang sekolah tadi Senja bersama tiga orang temannya belajar bersama di rumah Nanda, sahabat Senja. Kegiatan mereka ini bukan dilakukan tanpa alasan, lusa nanti sekolah mereka akan menghadapi ujian akhir semester dan Senja adalah salah satu yag terpintar di kelas mereka dan tidak pelit ilmu.
"Senja, kamu tidak tunggu dijemput?" Tanya Nanda yang khawatir akan sahabatnya.
Senja tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Nggak, Nan. Ini sudah malam. Aku takut merepotkan."
"Senja, karna ini sudah malam makanya lebih baik kamu dijemput. Memangnya Kak Fajar tega membiarkan kamu pulang sendirian?"
Senja menggedikan bahunya. "Kamu tau gimana sikap Kak Fajar ke aku, kan, Nan?" Mata Senja terlihat sedih, tapi cepat-cepat ia mengukir senyumnya. "Lagipula Kak Fajar sepertinya sedang sibuk dengan ujiannya." Dalihnya.
"Ya, sudah. Kamu hati-hati, ya. Maaf aku tidak bisa mengantarmu. Ibuku belum pulang dan aku harus menjaga Sinta."
"Iya, nggak apa-apa, kok. Aku malah berterima kasih karna mau menyiapkan tempat unutuk belajar."
"Ah, kamu ini. Selalu merendah." Ujar Nanda yang diiringi tawa renyah mereka berdua.
Senja pun melangkah dalam gelap. Terbesit di hatinya rasa takut dan khawatir, tapi mulutnya tak berhenti berkomat-kamit, mengucapkan doa-doa agar Tuhan menjaganya. Sejujurnya dirinya bukan takut dengan hantu atau hal sejenisnya, tapi yang ia takutkan adalah para penyamun yang sedang mencari mangsa. Tentu saa ia tidak ingin menjadi korban mereka. Namun, keadaan berkata lain, tak jauh dari tempatnya dua orang pria dengan botol di tangannya berjalan terhuyung-huyung ke arah Senja.
Jantung Senja berdegub kencang, keringat dingin mengucur di dahinya. Cepat-cepat ia berbalik dan berniat untuk kembali ke rumah Nanda. mungkin akan lebih baik jika aku meminta Kak Fajar menjemputku.Batinnya.
"Hei cantik!" Terlambat. Seorang pria dengan bau alkohol yang keluar dari mulutnya sudah berhasil menyamai langkah Senja. Pria itu merapatkan tubuhnya di pundak Senja.
Senja berusah melepaskan diri dari dua pria yang menghalangi jalannya, tapi ia tau tidak ada yang bisa dilakukannya. Mungkin aku bisa melakukan ini, "TOLOOOOOONG!!! TOLOOOONG!!" Teriak Senja.
Buuuuuuk!!
Sebuah dentuman keras terdengar jelas di telinga Senja. Ia tak berani membuka matanya, bahkan hanya unutuk melihat apa yang terjadi.
Buuuuuuk!!! Sebuah dentuman kembali terdengar dan rasa penasaran membuat Senja membuka matanya. Matanya terbelalak melihat dua pria yang tadi berniat jahat padanya sudah jatuh tersungkur di aspal.
"Ayo, pulang!" Perintah seorang pria yang langsung menarik lengan Senja.
"Kak Fajar?!" Ujarnya terkejut. "Kakak kok bisa di sini?" Tanya Senja yang tidak habis pikir dengan keberadaan Kak Fajar yang datang tepat pada waktunya.
"Jangan menganggap dirimu wonder woman sehingga nekat pulang sendiri malam-malam begini!" Omel Fajar seraya memberikan helm pada Senja.
***
"Senja, kamu sudah tidur?" Panggil Kak Lintang yang mebuka pintu kamar Senja dengan amat pelan.
"Belum, Kak. Ada apa?"
Lintang melangkah masuk dan duduk di kursi belajar Senja. "Maaf, aku tadi tidak bisa menjemput kamu. Aku lebih memilih pergi dengan Dimas."
Litang memang begitu menyayangi Senja meskipun terkadang rasa sayangnya membuahkan sikap yang berlebihan.
"Tenang, Kak. Tadi Kak Fajar udah jemput aku. Makasih udah nyuuruh dia jemput aku. Kalau bukan karna Kak Lintang mana mau dia jemput Senja." Ujar Senja sambil terkekeh.
"Nggak Senja." Wajah Lintang berubah bingung, ia mengerutkan keningnya. "Aku tidak menyuruh dia menjemputmu. Maksudku, tadi memang aku berniat begitu, tapi maaf aku lupa meminta Fajar untuk menjemputmu."
Senja terdiam. Ia mencerna penjelasan dari Lintang dengan peristiwa beberapa jam lalu.
"tapi aku senang Fajar sudah berubah. Lebih baik kamu tidur, istirahatlah yang banyak." Pesan Lintang dan beranjak pergi meninggalkan kamar Senja.

Selasa, 22 Mei 2012

EIRENE (Today My Life Begins)

"Mom... Dad..! Mom... Dad!!"
***
"Senja!!" Panggil Kak Lintang dengan suara cemprengnya. Secepat mungkin aku keluar dari kamarku dan menghampirinya yang berada di dapur.
"Kak Lintang?' Panggilku ketika tidak melihat dia di dapur.
"HAPPY BIRTHDAY, SENJA!!" Seru Kak Lintang dari belakangku. Di samping kanannya, berdiri seorang wanita tua renta, namun senyumnya tampak terlihat sumringah. Sedangkan di samping kirinya berdiri seorang lelaki bertubuh tegap dan seperti biasanya, tidak ada senyum yang terukir di wajahnya. Kak Lintang menjulurkan kue bolu yang dibawanya. Lilin dengan angka 17 tertancap di atas kue lembut itu.
"Eit, jangan ditiup dulu, kamu harus mengucapkan doamu dulu." Cegah Kak Lintang saat aku hendak meniup api yang membakar lilin itu.
Aku pun memejamkan mataku dan mengucapkan doa-doaku dalam hati. Sesaat setelah aku membuka mata, aku pun meniup lilin itu. Kak Lintang memeluk ku dengan erat, begitu juga Eyang Nur. Hanya Kak Fajar yang tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun.
Inilah aku, Senja. Aku hidup dalam kesederhanaan bersama Eyang dan saudara-saudaraku. Eyang Nur yang telah menginjak usia 68 tahun, namun tetap rajin membuat keripik yang terbuat dari singkong dan menjualnya di warung sekitar kampung kami dan tak jarang aku membawa sebagian keripik buatannya untuk dijual di kantin sekolahku. Kak Lintang, Kakak perempuanku yang sangat aku sayangi. Kami terpaut umur cukup jauh sekitar delapan tahun, tapi itu tidak membuat kami canggung. Kami malah tampak akrab. Kami sering melakukan hal bersama-sama, ya, aku akui itu karna hobi kami yang cenderung memiliki banyak kesamaan. Kak Lintang sangat terobsesi dengan menikah muda, oleh karna itu, tiga bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang lelaki yang ia kenal di bangku SMA.
Saudara terakhirku, Kak Fajar. Kakak lelaki ku yang satu ini sangat pendiam atau bisa dibilang jutek. Entah kenapa, aku merasa ia tidak pernah menyukai aku sejak kecil. Sikapnya yang cuek memang tidak menggangguku, tapi sikapnya yang selalu menganggap aku tidak ada membuat aku risih. Padahal usia kami hanya terpaut tiga tahun.
"Fajar, ayo, ucapkan selamat pada Senja!" Perintah Kak Lintang dengan mata melotot.
Kak Fajar diam untu sesaat, menatapku dan kemudian mengambil tas kuliahnya. "Eyang, Fajar berangkat." Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mencium punggung tangan dan pipi Eyang Nur dan kemudian melenggang pergi tanpa mengucapkan satu kata pun.
"Hei, Fajar!! Anak itu, kenapa selalu bersikap begitu?!!!" Geram Kak Lintang yang nyaris mengejar Kak Fajar sebelum aku menarik lengannya.
"Nggak apa-apa, kok, Kak. Kak Fajar mungkin sedang buru-buru. Lagipula aku sudah senang, kok, mendapat ucapan dari Kak Lintang  dan Eyang Nur." Ucapku tulus dan benar saja, amarah Kak Lintang berangsur reda dan tergantikan oleh senyumnya.
"Yah, biarkan anak itu." Putusnya.
"Kak Lintang, Eyang, Senja juga pamit berangkat sekolah, ya? Ada ujian hari ini." Pamitku dan melakukn hal yang sama seperti Kak Fajar, mencium punggung tangn dan pipi Eyang Nur.
Aku melangkahkan kakiku keluar rumah dan berhenti sejenak untuk menghirup udara pagi yang begitu sejuk. Aku mengedarkan pandanganku pada pekarangan rumah kami. Kami memang tidak memiliki rumah mewah bertingkat, tapi kami memiliki tanaman hijau di sekitar rumah kami yang membuat mata kami segar.
Aku kembali melangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak menuju sekolahku. Melewati setiap rumah yang berjarak satu meter setiap satu rumahnya. Ku tebarkan senyumku pada tetangga-tetanggaku, tanpa memandang usia dan gender mereka.
Kulupakan sejenak mimipi yang menghantuiku semalam. Mimpi yang kian hari kian rajin menghampiri tidurku.

Minggu, 20 Mei 2012

EIRENE (we lost you)

Aku melangkahkan kakiku menghampiri dirinya. Dirinya yang sedang menatap dunia luar lewat jendela kamarnya. Wajahnya mengeras, tapi tatapan matanya terlihat menyejukkan. Rambutnya yang hitam kelam terurai dengan indah, masih seperti pertama kali aku mengenalnya. Tubuhnya sedikit lebih kurus  daripada dua hari yang lalu saat aku menemuinya. Bulu kudukku berdiri ketika menyentuh tangannya yang dingin. Ia masih bergeming, tapi ku lihat linangan air mengalir menyusuri pipinya yang pucat. Ia tak mengalihkan pandangannya untuk menatapku. Matanya tetap memandang lurus ke luar jendela. Tak ada kehidupan yang terasa di sorot mata itu. Aku mengelus lembut rambut hitamnya dan membuatku merasa bersalah karna air matanya terus mengalir.
***
"Daddy, Iren diajak mom jalan-jalan!" Seru anak perempuan semata wayangku saat kami baru akan memulai sarapan di minggu pagi.
"Really? Ke mana? Kok daddy nggak diajak?"
Ia menggeleng cepat. Senyum manisnya selalu menjadi favoritku. "Nggak." Ia mendekatkan bibirnya pada telingaku. "Ini urusan perempuan." Bisiknya yang membuat ku langsung tertawa.
"Oke.. kalian harus hati-hati, ya." Ucapku.
"Morning!! Wah, kalian sedang bisik-bisik apa?" Suara Ananta memcahkan keheningan yang aku dan Iren ciptakan. Ananta, ibu yang baik dan istri yang sempurna buat aku dan anakku.
"Aku bilang Mom love daddy very much." Ujar Iren yang senang menggoda kami. Pipi Ananta terlihat memerah, entah karna make-up yang berlebihan atau tersipu malu.
 "Eirene Manuel, stop it!" Perintah Ananta yang pura-pura marah karna keusilan Iren.
"Why mom? it's true, right? You love him so much." Bela Iren. Aku memang terkadang bingung dengan hubungan ibu dan anak yang satu ini. Mereka bukan hanya seperti ibu dan anak, tapi juga seperti sepasang sahabat dan aku sangat tidak keberatan dengan keadaan ini.
***
Eirene Manuel. Gadis kecil yang selalu riang dan tidak pernah ku lihat senyumnya hilang dari wajahnya. Dewi kedamaian ku dan Ananta. Tak pernah aku bayangkan kalau minggu itu adalah minggu terakhir dimana kami bertiga tertawa bersama. Entah kesalahan apa yang aku buat di masa lalu hingga aku harus kehilangan Iren, putriku yang masih berusia 5 tahun.
Ananta menyalahkan dirinya atas kehilangan Iren. Meski aku terus meyakinkannya kalau kami akan menemukannnya, namun kenyataan membuat dirinya tak bisa memaafkan dirinya. Kenyataannya setelah kami berusaha mengerahkan seluruh usaha kami untuk menemukannya, Iren seperti ditelan bumi. Tak ada jejak yang membuat kami menemukan keberadaanya.
Sepuluh tahun telah berlalu. Sepuluh tahun juga Ananta membenci dirinya sendiri.Ia hanya mengurung diri di kamar. Menyiksa dirinya, seakan-akan dengan seperti itu ia bisa menebus kesalahannya.
Aku tidak pernah menyalahkan Ananta, bahkan dengan berat hati aku telah merelakan kehilangan Iren. Bagaimana pun keadaannya saat ini di luar sana, apakah ia masih hidup bersama orang yang menculiknya? Biarlah ia hidup dengan sejahtera. Jika memang hal terburuk sekali pun terjadi pada dirinya, membuat dirinya meninggalkan dunia ini. Biarlah ia tenang dan tidur dalam damai.

Rabu, 02 Mei 2012

love is never blind


Pagi kembali datang dengan udaranya yang sejuk dan sedikit panasnya matahari yang tak begitu menyengat. Ku pikir pagi hari ini pasti sangat cerah. Nyanyian burung-burung tak henti-hentinya ku dengar. Aku melangkah perlahan keluar rumah, merasakan pancaran matahri dengan udara yang sejuk.
Srek..srek.. Ku dengar suara yang mulai terbiasa aku terdengar di telingaku. Suara sebuah sapu yang sedang dipakai untuk membersihkan halaman. "Pagi, pak Tio!" Sapaku sambil tersenyum.
"Pagi, non. Mau ke mana pagi-pagi begini sudah keluar ?" Tanya ramah.
"Jalan-jalan aja,Pak. Abis saya bosan di dalam kamar terus." Jawabku dan kembali melangkah perlahan.
Keluar dari pagar rumah, aku mulai memakai tongkatku untuk menuntunku berjalan. Tongkat yang baru saja menjadi teman setiaku dan kepada tongkat inilah aku bergantung.
Tiiiiiiiin...tiiiiinnnn....... Suara klakson mobil tiba-tiba mengagetkanku dan membuatku menghentikan langkahku. Aku tidak tau harus berjalan kemana,  dan aku hanya berbalik menghadap sumber suara itu.
"Eh, lo mau cari mati, ya?!!" Omelnya.
"Maaf, Kang.. Silahkan jalan ." Kataku yang diselimuti rasa takut.
Aku bisa merasa ada sebuah benda yang dikibaskan di depan wajahku dan pastinya sekarang ia sudah tau kalau aku tidak bisa melihat. Aku tersenyum seraya berkata, "saya memang tidak bisa melihat, Kang." Kataku jujur.
" Ck, udah tau nggak bisa lihat, malah jalan sendirian."
"Saya nggak mau nyusahin orang rumah, Kang."
"Orang rumah lu emang nggak lu buat susah, tapi kalo lu kenapa-kenapa gue yang jadi susah." Omelnya lagi seperti tak puas.
"Iya, kang, sekali lagi saya minta maaf." Ucap ku dengan penuh rasa bersalah.
"Haaa.." Keluhnya kesal dan sesaat kemudian orang itu pergi dengan mobilnya.
Aku pun kembali berjalan perlahan. Jujur saja sekarang aku tidak tau sedang melangkah ke arah mana.
"Vetra!!!" Panggil seseorang yang sangat ku kenal suaranya. "Vetra, kamu kemana aja, sih? Kok kamu jalan sendirian? Kamu kan masih perlu istirahat." Omel bunda sambil memelukku.
"Vetra bosen, Bun. Seharin di kamar terus, tidur, makan, tidur, makan." Keluhku.
Bunda mengelus lembut kepalaku, "maaf ya, nak. Gara-gara bunda tidak bisa menjadi ibu yang baik buat kamu, kamu jadi kayak gini. Bunda benar-benar menyesal Ve." Ucap bunda tulus.
Aku meraba wajah bunda. "Bunda nangis? Bunda, jangan nangis. Ini bukan salah bunda. Ini salah Ve yang nggak bisa jaga diri." Kataku dan bunda memelukku dengan hangat. Kami pun berjalan pulang. Bunda menuntunku dan membuatku semakin mudah melangkah.
"Oh, ya, Ve. Bunda punya kabar kurang baik,Nak. Rencana pertunanganmu sepertinya akan diundur."
Aku menghentikan langkahku sejenak, kabar ini bukan hanya kurang baik melainkan sangat tidak baik. Calon tunanganku yang belum pernah aku lihat, sepertinya juga tak mau bersandingan denganku. "Gpp kok, bun. Aku bisa ngerti ." Kataku menenangkan bunda dengan senyum yang dipaksakan.
***
Ayahku bisa dikatakan orang yang cukup mapan. Beliau bekerja sebagai manager si debuah perusahaan minuman dan memiliki perkebunan blueberry. Sayangnya, karna alasan kesibukan aku tak pernah sempat mengunjungi perkebunan ini.
Samar-sama ku mendengar sebuah percakapan yang dilakukan dua pria. Aku melangkah perlahan menghampiri sumber suara itu.
"Luas, ya, perkebunan di sini?!" Suara seorang pria terdengar jelas di telingaku.
"Ya, tapi sayang ahli warisnya mungkin tidak akan bisa mengelola perkebunan seluas ini dengan baik." Kata pria lain menanggapi kekaguman si pria yang pertama.
"Bukankah, kamu yang akan menjadi ahli warisnya?"
"Hahahh entahlah, gue nggak mau cuma karna kekayaan, gue disuruh ngurusin orang cacat."
Jleb. Siapa sih orang ini berani-beraninya ngomong kayak gitu. Aku memang cacat, penglihatan aku hilang, tapi bisa kan dia lebih menghargai aku sedikit. Aku melangkah dengan gusar menjauh dari dua orang pria lancang tersebut.
"Hei!!  Kamu!!" Seru seseorang dan gue tetap melangkah dengan agak cepat.
"Hei, cewek buta!!" Seru pria itu lagi dan aku sangat yakin dia pasti memanggilku. Aku menghentikan langkahku dan membiarkannya menghampiri diriku. "Heh! Ngapain lu di sini? Ngikutin gue ya?!" Tuduhnya seenaknya. "Jangan-jangan lu butanya juga bohongan, ya!?" Katanya lagi dengan kata-kata yang tidak mengenakkan.
"Maaf, Kang. Saya pikir tidak ada satu orang pun ingin matanya buta. Begitu juga dengan diri saya, jika saya bisa menolak, saya pasti akan menolak untuk kehilangan penglihatan saya. Jadi, saya minta akang bisa jaga cara bicara akang. " Kataku menahan emosi. Aku membalikkan badan dan melangkah perlahan menjauh dari pria sombong itu.
"Hei!! Gue belum selesai ngomong!!" Teriaknya dan menarik lenganku hingga tongkat yang ku pegang terlepas dari tanganku. "Sorry." Katanya yang tiba-tiba memperlakukanku dengan baik. Ia juga mengambilkan tongkat ku dan memberikannya padaku. "Lu kok bisa ada di sini? Bukannya nggak boleh sembarangan orang yang masuk sini, ya?"
"Kenapa saya nggak boleh ke sini. Ini kan perkebunan..." Ku urungkan niatku untuk jujur padanya. Entah mengapa aku merasa pria ini adalah pria yang sama dengan pria yang menolak bertunangan denganku.
"Ini perkebunan siapa? Bukankah ini perkebunan Pak Setiawan?"
"Ya, memang ini perkebunan Pak Setiawan."
"Lalu kenapa lu bisa ke sini? Lu siapa nya Pak Setiawan?"
"Saya.. Hmm.. Saya itu, anak dari petani yang bekerja di perkebunan ini. Tentu saja saya bisa masuk ke dalam perkebunan ini."
"Ouum.. Nyokap bokap lu yang mana orangnya? Lo pasti lagi cari mereka, kan? Yuk, gue bantuin cari." Katanya menawarkan, seraya menuntun aku.
Namun, gue menepis tangannya dengan cepat."Eh, saya nggak mencari orang tua saya, Kang. Tapi makasih udah mau bantuin saya." Kataku sopan.
"Lho, trus lu ngapain di sini?"
"Saya hanya ingin merasakan sejuknya udara di perkebunan ini."
"Hmm memang udara di sini sejuk banget, gue juga suka di sini. Lo pasti sering banget ya ke sini ?"
"Hmm mungkin nggak sesering yang akang pikir." Jawabku sekenanya. "Akang suka blueberry?"
"Nggak begitu. Gue kan jarang banget makan nih buah."
"Hmm tapi. Nantinya akang harus sering-sering makan buah ini, supaya akang tau mana buah blueberry yang berkualitas mana yang nggak."
"Hahha memangnya gue nih siapa, berhak mutusin berkualitas apa nggaknya buah di perkebunan ini?" Katanya .
"Lho, bukannya akang ini menantu Pak Setiawan ?" Pancing ku agak penasaran.
Hening seketika. Tak ada jawaban dari pria itu.Aku pun sedikit bingung, lebih-lebih aku tak bisa melihat apa yang dia lakukan. "Kang?" Panggilku memastikan apa dia masih ada di dekat ku atau sudah pergi.
"Ya? Hmm entahlah, gue denger anaknya Pak Setiawan kecelakaan dan keadaannya buruk. Mungkin lumpuh. Tapi gue sih belum tau persis gimana keadaannya." Katanya menjelaskan "awalnya, kita memang dijodohin dan gue pun terpaksa menyetujui perjodohan ini. Jujur aja bukan karna kekayaan yang dimiliki tuh cewek gue jadi berubah setuju, tapi karna gue anak tunggal dan nggak mau ngecewain ortu gue. Sekarang, setelah gue denger kejadian kalau tuh cewek kecelakaan dan mengakibatkan kecacatan, gue rasa ortu juga nggak bakal tega maksa gue lagi."
Gue terhenyak kaget mendengar penuturannya. Apa ini semua berarti aku nggak pantes buat mendapatkan pasangan?
"Eh, sorry, kok gue jadi curhat, sih? Hahah lo kenal anaknya Pak Setiawan ?"
Aku mengangguk pelan.
"Oh, ya? Gimana keadaan dia sekarang? Apa dia lumpuh?"
Aku menggeleng. "Dia tidak lumpuh. Dia sehat. Hanya saja dia tidak bisa melihat."
"Oh, ya?! Kasihan dia."
"Ya, kasihan. Apalagi dia harus kehilangan calon tunangannya. Pasti dia sangat kecewa dengan keadaannya sekarang. Padahal pastinya dia nggak mau kejadian ini menimpanya."
"Ya, memang, tapi bukan salah gue. Kan hak gue untuk menentukan kehidupan gue selanjutnya." Katanya tak mau kalah.
Aku tersenyum. "Termasuk mengecewakan seseorang. Saya mau tanya, apa yang akang lakukan kalau hal yang terjadi dengan anaknya Pak setiawan terjadi pada akang?"
Lagi-lagi suasana hening. Ia tak menjawab apapun. "Maaf, mungkin saya terlalu lancang, tapi cobalah untuk berpikir sejenak. Saya tidak memaksa akang untuk menikahinya, tapi temuilah dia terlebih dahulu. Bicarakan dengannya jika akang menolak perjodohan ini. Saya yakin ia pasti akan mengerti."
Hening sejenak sampai-sampai aku bisa mendengar dengusan nafasnya. "Ya, mungkin lebih baik seperti itu." Katanya pelan. "Gue suka cara pikir lu, sekarang lu mau ke mana ? Mau gue anter?"
Aku tersenyum.
"Neng Vetra!!" Seru seseorang dan aku menoleh ke arah sumber suara itu. "Neng, ayo pulang, sudah sore. Nyonya juga nyariin eneng terus."
"Vetra? Bukannya Vetra nama anaknya Pak Setiawan yang kecelakaan itu?" Tanyanya agak terkejut.
Aku tersenyum. "Terima kasih untuk pengakuan akang. Saya senang ketemu akang." Kataku dan berlalu pergi dituntun oleh Bi 'Nah.
***
Tok tok tok.. "Vetra?" Panggil bunda di balik pintu kamar ku yang sengaja ku kunci.
"Iya, Bun." Sahutku seraya melangkah ke arah pintu kamar.
"Vetra anak bunda!! Kamu beruntung, Nak!!" Seru Bunda seraya memeluk tubuhku dengan erat.
"Ada apa, Bun ?" Tanyaku terkejut.
"Sayang, kamu dapet donor mata, Nak! Beruntung sekali, kamu bisa secepat ini mendapat pendonor."
Aku tersenyum senang dan air mataku mengalir haru. "Siapa Bun orang yang mulia hatinya itu?" Tanyaku penasaran.
"Bunda juga tidak tau, Ve. Orang itu baik sekali, ia mendonorkan matanya tanpa ingin diketahui jati dirinya. Tapi, Ve, lebih baik sekarang bunda bantu kamu mengemasi barang-barangmu dan kita akan ke rumah sakit."
***
Yah, benar kata Bunda. Aku mendapatkan pendonor dalam kurun 3 bulan semenjak aku kecelakaan. Lebih lagi pendonor itu tidak memungut biaya untuk organ yang diberikannya untukku.
Detik-detik sebelum operasi, aku sempet deg-deg an. Bunda dan ayah tidak diperkenankan ikut ke ruang operasi. Si pendonor mengajukan syarat agar tidak ada satupun keluargaku yang mengetahui tentang dirinya, sehingga ia menyewa sebuah kamar yang khusus.
Empat minggu telah berlalu. Puji syukur tak henti-hentinya aku panjatkan pada yang kuasa untuk kesempatan yang diberikan padaku. Sekarang aku bisa melihat betapa luasnya perkebunan ayah dan betapa segarnya buah biru yang menggantung di daunnya ini.
Sesal ku hanya satu, aku belum sempat mengucapkan terimakasih untuk orang yang mendonorkan mata untukku.  Yah, semoga orang itu dberkati dengan berlimpah.
"Sekarang gimana keadaan kamu?"
"Yah, seperti yang kamu lihat." Percakapan sendu itu terdengar jelas di telingaku. Kali ini aku tak mempedulikan percakapan itu dan berjalan menjauh.
"Gue bangga ama lo, sob! Lu ngerelain mata lu buat cewek yang baru lu kenal. Apalagi lu nggak ngasih tau mereka tentang jati diri lo!"
Langkahku pun berhenti. Mungkin kah dia ? Pendonor yang nggak mau diketahui jati dirinya ? Aku pun menghampiri kedua pria itu dn melihat sesesosok pria tampan, putih dan sepertinya hanya berbeda umur 2 tahun di atasku.
"Dia lebih pantes ngedapetin kesempurnaan ini. Kekayaan, kecantikan, juga kesempurnaan. Termasuk penglihatannya." Kata si cowok yang hanya bisa menatap lurus tanpa ekspresi. Air mataku pun terurai haru. Pikiranku yang pernah menilai nya jelek terhapus semuanya.
Teman si pria itu pun pamit meninggalkannya dan aku melangkah perlahan menghampirinya yang duduk sendirian.
"Andre?" Panggilnya menebak suara langkahku.
Ingin rasanya ku sentuh wajahnya. Mengucap terima kasih untuk kebaikan yang bahkan aku sendiri masih belum paham alasannya. Namun, aku malah terisak, menahan rasa haru dan sedih melihat keadaannya sekarang.
"Siapa lu? Kenapa nangis ?!" Tanyanya agak panikk.
"Trima kasih." Ucap ku akhirnya disela-sela tangisnya.
Aku bisa melihat ia agak terkejut dan mencoba menghampiriku. "Vetra?" Ucapnya.
"Akang yang mendonorkan mata untuk saya?" Tanyaku.
Ia hanya tersenyum dan berusaha mencari dimana aku berdiri.
Aku yang tak tega melihatnya, menggapai lengannya yang melayang bebas , "iya, saya Vetra."
"Kamu sudah bisa melihat ? Bagaimana pemandangan perkebunanmu sendiri?"
"Indah." Jawabku masih dengan isakan tangis. "Akang..akang nggak perlu melakukan ini.."
"Ssst.. Jangan nangis.. Lu itu pantes ngedapetin ini semua. Sekarang elu bisa mengelola perkebunan ini . Hmm dan satu lagi! Jangan panggil gue akang lagi, nama gue itu Bagas. Jadi, panggil gue Bagas." Ucapnya tanpa ada rasa menyesal dengan keputusannya.
"Bagas. Kenapa harus kamu yang donor mata ?"
"Karna gue sayang lu. Oke, mungkin lu juga nggak percaya sama dengan gue yang nggak percaya dengan apa yang gue rasain. Tapi kalo lu tanya kenapa gue melakukan hal ini, karna gue sayang sama lu, gue kagum sama cara pemikiran lu dan cara lu menggapi masalah di hidup lu."
"Bagas. Aku boleh minta tolong lagi?"
"Katakan saja. Gue bakal berusaha semampu gue."
"Tolong bantu aku kelola perkebunan ini dengan menjadi pendampingku."
"Apa? Nggak, Ve. Lu harus cari pria lain. Gue sudah membatalkan pertunangan kita. Gue nggak pantes mendampingi cewek sesempurna elu."
"Ada orang bilang, hubungan bukan dibangun dari pribadi yang sempurna. Tetapi hubungan itu dibangun oleh pribadi yang mau saling melengkapi sehingga hubungan itu menjadi sempurna. Aku juga tidak akan sempurna tanpa mata kamu. Tidak akan ada pria yang mau menikahi wanita buta jika kamu tidak memberikan mata kamu dengan cuma-cuma."
“Elu tuh terlalu baik, Ve. Gue..."
Aku meletakkan jariku di mulutnya. "Aku mohon, bantulah aku." Pintaku seraya memberanikan diri untuk memeluknya.
Tak disangka ia pun membalas pelukkan ku dan berkata, "Aku hanya ingin kamu tidak menyesal telah memilihku."
"Tentu saja, aku tidak akan menyesal."