Rabu, 30 November 2011

Good bye November


Drrrrtttrrrtt…Drrrttttrrrtt… Suara getar hp Caroline mulai mengganggu tidurnya. Ia mengulet sebentar, kemudian mencari-cari HP-nya dengan mata yang masih tertutup. Getaran yang makin keras membuat Caroline kesal dan beranjak dari tidurnya untuk mencari HP yang tak berperasaan miliknya.
“Berisik  aja, ya!” Gerutunya dan ia kembali menjatuhkan dirinya pada kasur empuknya.  Pastinya setelah ia yakin telah mematikan alarmnya.
Bukan kemalasan yang menjadi factor utama Caroline susah untuk bangun pagi. Ia hanya tak mau bangun dari setiap tidurnya. Setiap malam, di saait semua orang berharap mendapatkan nafas baru yang segar untuk esok hari, Carolline hanya meminta kalau diijinkan, ia tidak mau bangun di esok hari. Ia lelah terus merasakan kesedihan di sepanjang hari-harinya. Ia bosan harus terus teringat kenangan yang indah tapi menyakitkan untuk diriya. Kenangan yang mengingatkannya akan mantannya. Cowok yang ia kira baik, bahkan lebih baik dari semua cowok yang pernah ditemuinya, ternyata mampu menyakitinya. Cowok yang selalu berkata ‘aku sayang kamu’ dan ‘aku cinta kamu’, ternyata tega membiarkan dirinya menangis. Lebih-lebih hari ini adalah hari terakhir di bulan November. Perasaannya semakin kacau ketika ia mengingat hari natal. Hari dimana semua orang akan merasa senang, bahagia, penuh sukacita, tapi ia tetap harus menagis di dalam kesendiriaanya.
“CAROLINE!!” Sebuah suara mulai menggelegar dengan iringan gedoran pintu.
Caroline pura-pura tak dengar, ia mengambil bantal untuk menutup telinganya dan menarik selimut.
“Caroline!!! Bangun!! Kamu nggak mau kerja?!!” Suara nyokapnya Caroline kembali terdengar dengan suara yang lebih keras dan semangat menggedor-gedor pintu.
Suara yang begitu riuh memaksa Caroline untuk bangun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya. Telinganya agak bising juga mendengar teriakan yang diiring gedoran pintu yang dilakukan mamanya. “Iah, Olin bangun.” Katanya lemas dan ngeloyor pergi ke kamar mandi.
“Kamu itu, ya. Nggak pernah sadar-sadar! Usia kamu udh berapa? Masa untuk berangkat ke kantor aja mesti di bangunin….” Omel Nyokapnya Caroline panjang lebar.
“Kayak umur gue udah 30an ajah, baru juga 20.” Gerutunya.
“Apa?! Kamu jawab apa Caroline?”
“Ha? Nggak, Ma. Aku mandi ya!” Jawabnya dan langsung menutup pintu kamar mandinya.
20 Menit kemudian, Caroline baru saja keluar dari kamar mandi. Seperti biasa, butuh waktu hamper satu jam sampai Caroline benar-benar terlihat rapid an cantik. Setelah merasa yakin dengan pakaian dan tampilannya hari ini, ia segera keluar kamarnya. Tak lupa sesaat sebelum ia keluar, ia menatap ke cermin lagi. Ia ingin menimbulkan kepercayaan dirinya.
“Pagi, Caroline! Everything is ok! Be nice in your life!” Katanya menyemangati dirinya.
Usai Pamit kepada mamanya tersayang, Caroline pun langsung meluncur ke kantornya. Jarak antara kantor dengan rumahnya memang tidak terlalu jauh dan itulah yang menjadi alasan Caroine ‘senang’ datang paling siang dari semua karyawan yang bekerja di kantornya.
“Pagi, Mas Oni! Pagi Pak Yusuf!” Sapanya saat melihat dua teman kantornya sedang berdiri di depan kantor.
“Siang, De Caroline!” Jawab seorang cowok yang namanya Mas Oni, bermaksud menyindir Caroline.
“Ihh, Kan aku nggak telat.” Rajuknya pura-pura marah. Tanpa mempedulikan temannya yang rada usil itu, Caroline langsung ngeloyor masuk ke dalam kantor. “Pagi, Sya!” Sapanya semangat dengan tak lupa memamerkan senyumnya.
“Pagi. Kok semangat banget kamu, Lin? Ada apa?” Tanya Tasya yang agak heran.
“Hmm.. nggak ada apa-apa sih.” Jawabnya seraya mengabsen dirinya pada mesin absen otomatis. “Gue badmood, salah. Gue seneng, salah juga. Jadi gue mesti gimana dong, Sya!?” Tanyanya pura-pura bingung.
“Hahaha.. Lo tuh, ya. Kayak anak kecil aja candaan lu.” Ledek Tasya yang pandangannya tak lepas dari computer.
“Semua orang aja, hari ini bilang gue kayak anak kecil. Hhhh… seandainya gue tetep bisa jadi anak kecil. Anak yang nggak tau apa itu cinta, apa itu sakit hati, apa itu kecewa. Cape gue, Sya.” Keluh Caroline.
Hampir setiap hari Caroline mengeluh dan curhat tentang masalah-masalahnya. Khususnya masalah percintaan. Tasya memang sudah menjadi orang yang paling dekat dengan Caroline di kantor dan sampai saat ini Tasya tak pernah mengeluh sedikit pun kaena selalu mendengar Caroline megeluh setiap pagi.
“Aneh-aneh aja lu ngomong. Nggak enak juga kali jadi anak kecil terus. Kemana-mana ada yang ngikutin, trus nggak bisa pegang uang sendiri. Jadi, kalo lu mau belanja pas diskon, lu mesti minta dulu ama nyokap lu atau bokap lu. Mau lu kayak gitu?”
“Yaaah, nggak gitu juga, sih. Tapi sebel, Sya. Masa tiap hari gue harus inget dia, harus mimpiin dia. Sakit tau, Sya.”
“Caroline, lu tuh udah lama putus sama dia, kenapa sih masih dipikirin terus? Lu nggak kasian ama diri lu? Otak lu tuh masih bagus, masih banyak ide-ide kreatif yang terpendam di otak lu! Sayang banget kalo lu pake otak lu Cuma buat mikirin cowok yang bahkan nggak mikirin lu. Sekarang gue tanya, lu tau nggak sekarang dia lagi apa?”
Caroline melihat jam tangannya, “Kuliah.”
“Lu tau dia lagi kuliah. Sekarang gue tanya, apa dia tau sekarang lu lagi apa? Lagi kerja di mana? Dia nggak pernah mau tau tentang urusan lu, kan? So, sampai kapan lu begini terus?” Tanya Tasya agak keras, meskipun ia tak tega mengeluarkan suara yang tegas, tapi ia berharap ketegasannya itu bisa membuat temannya yang satu ini sadara kalau cowo yang bernama Octavian itu nggak pantes membuat dirinya terpuruk..
Caroline diam sejenak. Ia sebenarnya sadar dan sangat sadar kalau selama ini ia hanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang ia tau nggak mungkin pernah ia dapatkan. Selama ini ia hanya penasaran dan belum bisa terima kalau cowok yang katanya sayang dengannya hanya menganggapnya sebagai sahabat. Sekalipun mereka telah menjalin kasih selama satu tahun lebih. Bukan waktu yang sebentar bagi Caroline. Selama mereka pacaran, Caroline memang sering minta putus karena kesal dengan sikap acuh cowoknya, tapi ucapannya itu tak pernah terjadi. Ia tak pernah tega meninggalkan Octavian sendiri. Berali-kali Caroline menyerah, tetapi ia masih terus memberikan kesempatan untuk Octavian.
Akan tetapi, seperti air susu dibalas air tuba. Octavian tidak melakukan hal yang sama seperti Caroline. Delapan bulan lalu, ia menyatakan putus dan tidak memberikan Caroline kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Caroline pun tak merasa melakukan kesalahan, ia tak berselingkuh apalagi melakukan hal yang membuat Octavian marah. Berkali-kali ia meminta Octavian untuk balikan tapi tak pernah ada jawaban yang ia dapatkan. Sampai akhirnya suatu pertanyaan muncul dibenaknya.
“Sebenarnya sampai saat ini kamu masih sayang sama aku atau nggak sih?” Tanya Caroline saat ada kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Octavian.
Octavian hanya tersenyum seraya mengelus lembut rambut Caroline, “Aku akan selalu tetep sayang sama kamu. Kamu kan sahabat aku.” Ucapnya lagi dengan tulus.
Ketulusan dan kejujuran yang membuat Caroline ternganga. Ia tak habis pikir, semudah itukah seorang pria menganggap mantannnya sebagai sahabatnya. Atau kah selama ini Octavian hanya menganggapnya sebagai sahabat? Hati dan pikirannya terus berkecamuk. Pikirannya memaksa dirinya untuk berhenti berharap pada Octavian lagi, tetapi hatinya ingin terus berharap dan percaya kalau Octavian akan kembali menadi miliknya.
Caroline kembali berfikir dan mulai membuaka pikiran dan hatinya. Semua yang dikatakan Tasya memang ada benarnya. Selama ini, Octavian tak pernah mau menghubunginya. Tak pernah sedikit pun niat Octavian untuk peduli dan memikirkan keadaannya.
“Lin, lu tuh masih muda. Usia lu masih 21 tahun. Masa lu mau jadi perawan tua Cuma gara-gara tuh cowok? Lu bayangin deh tujuh atau delapan tahun lagi dia menikah dan lu masih stuck mikirin dia? Lu sendiri, Lin, yang rugi.” Kata Tasya memberikan wejangan lagi.
“Haaaa Tasya….. Masa dia nikah ama cewek lain? Trus gue?” Rajuk Caroline yang mulai kayak anak kecil.
Tasya menggedikkan bahunya. “Pilihan ada di pikiran dan hati lu. Lu mau move on and lanjutin hidup lu atau lu mau stuck mikiri dia yang nggak pernah mikirin lu.”
Caroline diam dan berfikir, “Terus kalo nggak ada pilihan, gimana, Sya?”
“Siapa bilang nggak ada pilihan? Lu tuh hanya senang berendam di dalam air mata lu. Lu nangis tiap malem, mikirn dia seharian. Apa ada gunanya? Apa bisa buat lu tambah kaya? Apa bisa buat di tiba-tiba datang ke sini? Gue rasa nggak, Lin.”
“Tasyaaaaa…”Rajuknya manja. Caroline hanya memeluk Tasya dan Tasya peraya kalau temannya yang satu ini sudah bisa memilih hal yang benar untuk kehidupannya.
***
Hari berganti malam. Langit yang gelap agak sedikit bercahaya dengan bertaburnya beberapa bintang yang berkelap-kelip. Tak ada lagi yang Caroline rasakan selain kelelahan. Hari ini cukup banyak pekerjaan yang dilimpahkan ke divisinya dan khususnya di mejanya.
Ia mengambil sebuah buku di laci meja komputernya. Sebuah buku yang sudah agak lusuh karna tak pernah ia pergunakan lagi. Buku harian yang dulunya selalu ia tulis stiap hari. Sebuah kewajiban bagi dirinya untuk menulis apa saja yang ia kerjakan dan ia alami sepanjang hari.
Caroline mulai mengambil pulpen dan menulis di halaman kosongnya.
Langit..
Sedihkah engkau jika tak ada bintang?
Bisakah kau tetap bercahaya meski tak ada bintang di sisimu?
Khawatirkah dirimu bila bintang pergi?
Tapi langit, sadarkah kau ada bulan yang setia denganmu
Sadarkah kau ada bulan yang akan memberimu cahaya
Langit…
Percayakah padaku…
Ketika apa yang kita harapkan pergi
Selalu dan akan selalu ada penggantinya
Pengganti yang setia menunggu kita sampai kita berpaling padanya..
Caroline menutup bukunya, ia kembali memandang langit. “Sudah cukup delapan bulan ini aku memberi kesempatan buat kamu untu kembali. Good bye November. Good bye Octavian.” Caroline menghela nafas sesaat. Air matanya mulai membasahi pipinya, tetapi dengan cepat ia mengusapnya. “Welcome December. Welcome my new prince.”

Selasa, 15 November 2011

My ex officce

Just a little photo about room in my ex-officce, Check it out




Ini meja gue selama bekerja di kanator yang bergerak di bidang kontraktor ini. Cukup berantakkan, bukan? Gue juga binggung mau ngeberesinnya waktu gue mau mengundurkan diri
 Ini juga ruangan gue. Bukan ruangan gue sepenuhnya sih. Di ruangan ini ada satu karyawan lagi yang bertugas mendesain gambar. Setidaknya lebih baik dan lebih beradab kerapiannya daripada meja gue :P
 Masih di ruangan yang sama. Dua komputr ini adalah milik temen gue sdgkan yang tadi kmputer erja gue -yang sebenarnya jarang gue pakai :P
Mungkin tiga bulan bukan waktu yang lama gue bekerja disini tapi ya.. karna satu dan lain hal gue harus dan sangat ingin keluar dari kantor ini.

Rabu, 02 November 2011

a letter from you

"dear my beloved person,
hei, kamu yang di sana! adakah sedikit rasa kangen yang kamu rasain terhadap aku yang di sini. Aku lagi mikirin tentang natal ku di tahun ini. Sedih rasanya saat aku sadar kalau natal kali ini harus aku jalani sendiri tanpa kamu. Mungkin natal kali ini dalam persiapannya, nggak ada kamu yang nemenin aku. Mungkin di natal taun ini nggak ada saling tukar kado. Inget buku diary yang kamu kasih di natal dua tahun lalu? Bukunya memang udahnggak ada di aku tapi aku harap kamu jaga baik-baik ya bukunya.
Aku mungkin egois tapi aku nggak bisa apa-apa. Nggak ada yang bisa nerubah perasaan kamu ke aku. Aku cuma sahabat km dan nggak akan pernah lebih. Aku juga nggak akan bisa jadi org yang spesial lagi buat kamu. Mungkin..mungkin di luar sana kamu sudah menemukan cewe yang tepat buat ada di samping kamu. Cewe yang jauh lebih sempurna dari aku. cewe yang jau lebih baik dari aku, cewe yang mungkin lebih sayang n perhatian dari pada aku.
Aku cuma pengen bilang, kalau kamu butuh seseorang buat cerita, ada aku di sini. Gimana pun keadaan km dan keadaan aku, aku pasti akan selalu ada buat km. Aku bakalan dengerin setiap keluh kesah km
hmm.. Lagi-lagi aku sadar, kalau aku cuma akan hanya ganggu khdpn km. Rasa sayang yang aku punya ternyata malah ganggu hdp kamu. Aku buat malu km. Maaf buat semua sikap aku ya..aku kayak gini karena aku sayang kamu

Regards
a girl who loves you forever"

Selasa, 01 November 2011

Curhatan Tweechiz

nyesek banget di saat kita butuh sahabta kita, tapi mereka nggak ada buat kita. Di saat kita butuh pacar kita, dia juga nggak bisa ada buat kita (kalo yang satu ini memang belum punya). Malem ini lagi galau banget, inget mantan (tiap malem juga galau sih). Gue pengen ada sahabat gue atau temen gue yang bisa ngasih semangat atau dorongan seenggaknya bilang "lu pasti bisa lupain dia, S!" 
Tapi yang ada gue malah dikacangin. Hmm.. mungkin mereka udah bosen kali ya, denger gue galau mulu hhehhe.. Sbenernya sih mereka nggak salah. Mereka udah bilangin berulang kali ke gue untuk move on dan ngelupain mantan gue. Tapi, yaaa... emang gue aja yang bebal, yang nggak mau dengerin mereka. Alhasil, sekarang gue malah berjuang sendiri buat bangkit dari kegalauan. 
Atau mungkin juga mereka lagi sibuk. Yap, mungkin juga gitu. Secara si C lagi mau UTS, W juga kayaknya masih UTS, kalo M , hmm sibuk belajar mungkin. Haaaaa... gue kangen ... kangen masa SMA. Masih ada mereka. Masih ada pacar. Pengen bbman ama mantan, tapi pasti dicuekin. gue bilang kangen, pasti jawaban dia "udh km tidur". ketauan banget sih kalo tuh orang emang sebenernya keganggu banget ama perasaan gue. Dia pasti bakal lebih seneng kalo nggak bbmin dia hahha.. (kenapa tambah galau?????)
singing akh "i'm all about you i'm all about us..." Ga tau lanjutan lagunya hhahha
oke lah sekian celotehan galau dari dasar hati yang paling dalam (lebay dikit)
Gbu

Pangeran untuk Qisya


“Qisya, mau sampai kapan lu nungguin tuh cowok?” Anginnya kenceng banget lho. Lu nggak takut masuk angin?” Tegur  Patris pada sahabatnya.
“Dia pasti dating, Tris!” Tegas Qisya yang masih tak bergerak sedikit pun. “Dia janji mau akan datang jika hujan turun.” Katanya lagi.
Patris tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tahu sifat keras sahabatnya ini. Sebenarnya ia tak tega melihat keadaan Qisya, sahabatnya. Kesedihan pasti masih menyelimuti hatinya. Enam bulan lalu, cowok yang sudah dipacarinya selama satu tahun meregang nyawa dalam kecelakaan maut saat akan pergi berlibur dengan keluarganya. Lalu, seminggu yang lalu Qisya bercerita pada dirinya kalau ia bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Qiyo, pacarnya.
“Tapi, Sya, Qiyo kan udah….” Patris tak tega melanjutkan kalimatnya. Ia tak enak hati dan takut menyinggung perasaan sahabtnya.
“Meninggal!” Qisya melanjutkan kalimat sahabatnya Patris dengan suara lantang. “Tris, gue nggak gila. Gue tahu Qiyo udah meninggal, tapi cowok yang tadi gue temuin bener-bener mirip Qiyo.”
“Lu tahu namanya?” Tanya Patris dengan nada menyelidik.
Qisya menggelengkan kepalanya,” Gue belum sempet tanya namanya.” Jawab Qisya dengan suara pelan. “Tapi, gue akan segera tahu namanya!” Ucapnya lagi dengan penuh keyakinan. Patris hanya menggedikkan bahunya dan masuk ke dalam rumah.
Sudah satu jam hujan turun, mulai dari gerimis hingga sampai sederas ini. Ada niat di hati Qisya untuk berhenti menunggu dan melupakan perkataan cowok yang mirip dengan pacarnya, Qiyo. Ia mulai bangkit dari kursi dan berniat untuk meningglkan balkonnya.
“Qisya!” Teriak seseorang yang membuat Qisya melihat ke bawah dri balkonnya.
Tidak hanya wajahnya, suaranya pun mirip dengan Qiyo. Batin Qisya lirih. Melihat seseorang yang mirip dengan pacarnya tetap berdiri di depan rumahnya yang hanya terlindung dengan sebuah payung, Qisya langsung meninggalkan balkonnya dan keluar rumah menghampiri cowok itu. Bajunya agak basah ketika ia bisa berhadapan dengan cowok yang memiliki wajah dan suara yang mirip kekasihnya.
“Hei, kamu kehujanan! Pakai ini!” Seru cowok itu seraya menyerahkan sebuah paying kepada Qisya.
Qisya mengambil payung dari tangan cowok itu dan menggunakannya sesuai dengan kata-kata cowok itu.
“Sekarang, ayo ikut aku!” Ajak cowok itu dn Qisya lagi-lagi terhipnotis dengan kata-kata cowok itu.
Qisya melangkahkan kakinya sesuai dengan perintah cowok itu tanpa membantah sedikit pun.  Cowok itu memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di sebuah taman. “Qisya!” Panggilan yang cukup keras dari cowok itu mampu menyadarkan Qisya.
Qisya terlihat linglung saat cowok itu menyadarkan kesadarannya, “Kamu siapa? Kenapa hujan-hujan begini aku berada di luar rumah?” Tanya Qisya.
“Aku yang mengajakmu keluar rumah. Perkenalkan, aku Niar.” Ucapnya seraya membungkukkan badannya.
“Niar?” Gumam Qisya , matanya menerawang. “Seingatku, aku tidak pernah memiliki teman atau kenalan yang bernama Niar. Kenapa kamu bisa tahu nama dan tempat tinggalku?” Tanya Qisya menyelidik.
Niar tersenyum. “Dulu aku memang bukan teman kamu, tapi sekarang kita nerteman , kan?” Tanya Niar meyakinkan.
Qisya tak menanggapi gurauan Niar, ia tetap menunggu pertanyaannya terjawab dengan jelas.
Niar yang mengerti kemauan Qisya, memberanikan diri untuk bercerita. “Oke…oke… Hmmm,. Mungkin kamu tidak akan percaya dengan cerita ku, tapi karena kamu meminta untuk menceritakan semuanya, aku akan coba menceritakannya secara perlahan supaya kamu  bisa mengerti.” Niar menghela nafas sesaat. “Aku terkena hukuman dari dewan kerajaan di tempatku karena aku melakukan kesalahan yang amat fatal. Hukuman yang diberikan oleh dewan kerajaan terhadapku adalah membuat hati seorang perempuan yang sedang bersedih menjadi bahagia. Sebenarnya aku bebas memilih siapapun yang enjadi targetku, tapi seseorang di kerjaan berkata kepadaku ada seorang gadis remaja yang cantik sedang diselimuti kesedihan yang mendalam. Gadis itu selalu melihat ke langit saat hujan ketika hatinya mulai merindukan kehadiran kekasihnya. Kekasih yang telah mati dalam kecelakaan.” Niar menghentikan ceritanya, ia ingin tahu apa reaksi Qisya setelah mendengar ceritanya.
“Imajinasimu terlalu tinggi. Kamu cocok menjadi penulis dan aku yakin imajinasimu ini dapat dijadikan buku sehingga kamu bisa menjadi orang yang popular.” Ejek Qisya dan beranjak pergi dari hadapan Niar. Akan tetapi, sepasang tangan tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kedua payung mereka terjatuh , tapi Qisya tak sedikit pun merasakan kedinginan ataupun air hujan yang membasahi dirinya. Qisy meronta, tapi tentu kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan Niar.
“Aku mohon batulah aku. Jika kamu mu membantuku, aku akn memberikan apapun yang kamu mau sekalipun Qiyo yang kamu inginkan.” Ucap Niar tulus dan masih memeluk Qisya.
Perlahan Qisya tak lagi meronta, penawaran yang dilakukan Qiyo sepertinya berhasil, “Kamu benar-benar bisa mengembalikan Qiyo?” Tanya Qisya lagi.
Niar mengagguk yakin. “Tentu saja.” Jawabnya singkat.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat hukumanmu terselesaikan.?” Tanya Qisya semangat.
Niar terdiam sesaat dan kemudian tersenyum. “Ciuman pertama kamu.”
“Nggak akan!” Bentak Qisya seraya mendorong Niar menjauh dari tubuhnya.
Niar menggedikkan bahunya. “Itu terserah pada dirimu.”
Qisya tak berani memberikan ciuman pertamanya pada siapapun tak terkecuali Qiyo, cowok yang dipacarinya selama setahun, bahakan sampai akhir hayatnya. Jadi, mana mungkin ia bisa memberikan ciuman pertamanya begitu saja pada cowok yang baru ia kenal, apalagi ia tak memiliki perasaan apapun pada cowok itu.
“Aku tidak akan memaksamu, kita bisa memulainya secara perlahan. Lebih baik kamu pulang, hari sudang mulai senja dan aku pikir kamu membutuhkan waktu untuk memikirkan perjanjian kita ini.” Kata Nia bijak.
***
“Sya, gue balik duluan, ya!” Pamit Patris saat bel pulang sekolah berbunyi.
“Ya!” Jawab Qisya setengah hati. Sebenarnya ia agak sebal harus tetap berada di sekolah karena hujan yang turun begitu deras dan maminya tak bisa menjemputnya.
“Butuh bantuan, Princess?” Qisya tersentak kaget melihat Niar ada di belakangnya.
“Kamu? Bagaimana kamu bisa tau sekolah ku?” Tanya Qisya yang terheran-heran.
Niar tertawa bangga. “Tentu saja aku tahu. Ku kan harus tahu dengan jelas tentang kekasihku.” Katanya dengan begitu yakin.
Kali ini gantian Qisya yang tertawa dan membuat heran Niar. “Kekasih? Siapa yang mau jadi kekasih kamu? Jangan kegeeran kamu!” Ejek Qisya samba terus memajang senyum di wajahnya.
Niar tersenyum, hatinya merasa senang dan lega melihat Qisya tertawa. Bukan karena rencananya berjalan dengan baik, tapi ia senang meliat senyum gadis yang menjadi target misinya. “Senyum seperti itu lebih baik daripada terus-terusan melamun dan bersedih.” Ucapnya dan membuat Qisya sedikit tersipu malu.
“Apa sih kamu!”
“Pulang lah dan beristirahatlah. Hati-hati, ya.” Katanya.
“Tapi, bagaimana akau bisa pulang kalau masih hujan seperti ini?” Qisya mengadahkan tangannya.
“Hujan berehenti!” Seru Niar dan seketika itu hujan mulai reda san langit pun semakin cerah.
Qisya yang terkejut langsung memandang langit biru yang dihiasi pelangi. “Niar kamu benar-benar…” Qisya makin bingung ketika Niar sudah menghilang begitu cepat dari hadapannya. “Pangeran hujan.” Gumamnya. Ia kembali mengedarkan pandangannya dan setelah yakin kalau Niar tak ada lagi di sekelilingnya, ia melangkahkan kakinya menauh dari sekolah menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, senyumnya mulai mengembang.
“Akhir-akhir ini kayaknya sering bnget hujan yaa? Lama-lama jadi banjir deh.” Keluh Patris. “Sya, lagi sibuk apa sih? Gue curhat sampe nggak didengerin.” Keluhnya lagi saat tahu Qiya tidak mempedulikannya.
“Lu tuh bukannya curhat, tapi ngeluh!” Kata Qisya sambil terus mengerjakan sesuatu.
“Yaa, sama lah. Beda-beda tipis.” Jawab Patris tak mau kalah. “Tapi, lu lagi buat apaan sih? Mahkota?” Tanya Paris.
Qisya mengangguk dan tersenyum, “Bagus, nggak?”
Patris mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus sih, tapi buat siapa?” Tanya Patris penasaran dan Qisya hanya tersenyum. “Sya, jangan bilang lu mau kasih mahkota ini ke pangeran khayalan lu?”
“Enak aja. Dia itu bukan khayalan gue, tapi pangeran gue. Calon, sih.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Qisya..Qisya.. Sakit lu!”
“Idih nggak percaya. Kalau nggak percaya nanti gue tunjukin deh.” Tantang Qisya.
Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Waktu pulang sekolah. “Mana pangeran khayalan lu?” Tagih Patris
“Sabar dooong, Patris.” Qisya dan Patris menunggu di depan gerbang sambil terus memperjuangkan argumennya.
“Qisya!” Panggil seseorang dan Qisya yakin kalau suara itu adalah suara Niar.
“Hei!” Sahut Qisya dengan riang.
“Sya, siapa tuh cakep banget! Agak mirip Qiyo.” Bisik Patris.
“Ehm, Patris kenalin, temen gue. Niar.” Ujar Qisya dengan bangga memperkenalkan Patris dengan pangerannya.
Niar tersenyum. “Qisya, kamu ada waktu? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Qisya memandang Patris, sahabatnya, seperti meminta ijin. Patris pun mengangguk.
“Mau ke mana?”
“Yuk, ikut aja!” Niar menggenggam tangan Qisya dan berjalan menuju tempat yang sudah ia persiapkan.
Berjalan beberapa menit di tengah-tengah hujan tak membuat Qisya kebasahan. Mereka berjalan sambil bersenda gurau. Hati Qisya dibuat melayang karena gombalan Niar.
Niar melepaskan genggaman tangannya dan mengadahkan tangan ke langit. Ia mengambil tetesan air dan membuatnya menjadi gelembung yang lumayan besar. “Ambillah!” Perintahnya.
Meskipun timbul banyak pertanyaan yang timbul di kepalanya, tapi ia tetap menuruti perintah Niar. “Yaaaa…” Keluh Qisya ketika gelembung yang dibuat Niar pecah di tangannya. “Maaf, Niar. Aku…”
“Qisya, nggak semua hal buruk yang terjadi di kehidupan kamu itu adalah kesalahan kamu. Terkadang itu terjadi karena memang ketidakmampuan kita dalam menjaga sesuatu.  Berhentilah menyalahkan dirimu. Qiyo meninggal karena takdir.” Niar menggenggam tangan Qisya.
“Benarkah?” Tanya Qisya ragu.
Niar mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya ke bibir Qisya. Mereka berciuman beberapa saat sampai sebuah cahaya menyiaukan mereka berdua.
“Niar, tugasmu telah selesai. Kembalilah!” Perintah suara itu.
Qisya menatap Niar, “Kamu akan pergi?”
“Untuk sesaat.”
“Niar ini untukmu!” Seru Qisya mengejar sosok Niar yang terangkat ke langit seraya menyerahkan mahkota yang ia buat dari daun cemara.
Hujan kembali turun dengan deras. Sudah beberapa bulan ini Qisya selalu duduk di saat di balkonnya saat hujan.
“Niar sudah menjadi pangeran.” Gumamnya.
“Dan Qisya sudah menjadi permaisuri pangeran Niar.” Sebuah suara mengejutkan Qisya.
Qisya menoleh ke bawah dan mendapati seorang cowok berdiri dengan sebuah payung. Kepalanya dihiasi sebuah mahkota. Mahkota daun cemara buatannya. Perlahan senyum manis terukir di wajah Qisya. Tanpa menunggu perintah apapun, Qisya berlari menghampiri Niar.
“Kok kamu ada di sini?”
“Aku dapat hukuman lagi.”
“Hukuman apa?”
“Menjaga permaisuri Pangeran Niar.” Ucapnya dan membuat Qisya tersenyum malu.
Mereka saling berpelukan dan berciuman mengungkapkan rasa rindu yang mereka rasakan masing-masing.


*diikutsertakan dalam lomba cerpen DIVA Press