Selasa, 01 November 2011

Pangeran untuk Qisya


“Qisya, mau sampai kapan lu nungguin tuh cowok?” Anginnya kenceng banget lho. Lu nggak takut masuk angin?” Tegur  Patris pada sahabatnya.
“Dia pasti dating, Tris!” Tegas Qisya yang masih tak bergerak sedikit pun. “Dia janji mau akan datang jika hujan turun.” Katanya lagi.
Patris tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tahu sifat keras sahabatnya ini. Sebenarnya ia tak tega melihat keadaan Qisya, sahabatnya. Kesedihan pasti masih menyelimuti hatinya. Enam bulan lalu, cowok yang sudah dipacarinya selama satu tahun meregang nyawa dalam kecelakaan maut saat akan pergi berlibur dengan keluarganya. Lalu, seminggu yang lalu Qisya bercerita pada dirinya kalau ia bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Qiyo, pacarnya.
“Tapi, Sya, Qiyo kan udah….” Patris tak tega melanjutkan kalimatnya. Ia tak enak hati dan takut menyinggung perasaan sahabtnya.
“Meninggal!” Qisya melanjutkan kalimat sahabatnya Patris dengan suara lantang. “Tris, gue nggak gila. Gue tahu Qiyo udah meninggal, tapi cowok yang tadi gue temuin bener-bener mirip Qiyo.”
“Lu tahu namanya?” Tanya Patris dengan nada menyelidik.
Qisya menggelengkan kepalanya,” Gue belum sempet tanya namanya.” Jawab Qisya dengan suara pelan. “Tapi, gue akan segera tahu namanya!” Ucapnya lagi dengan penuh keyakinan. Patris hanya menggedikkan bahunya dan masuk ke dalam rumah.
Sudah satu jam hujan turun, mulai dari gerimis hingga sampai sederas ini. Ada niat di hati Qisya untuk berhenti menunggu dan melupakan perkataan cowok yang mirip dengan pacarnya, Qiyo. Ia mulai bangkit dari kursi dan berniat untuk meningglkan balkonnya.
“Qisya!” Teriak seseorang yang membuat Qisya melihat ke bawah dri balkonnya.
Tidak hanya wajahnya, suaranya pun mirip dengan Qiyo. Batin Qisya lirih. Melihat seseorang yang mirip dengan pacarnya tetap berdiri di depan rumahnya yang hanya terlindung dengan sebuah payung, Qisya langsung meninggalkan balkonnya dan keluar rumah menghampiri cowok itu. Bajunya agak basah ketika ia bisa berhadapan dengan cowok yang memiliki wajah dan suara yang mirip kekasihnya.
“Hei, kamu kehujanan! Pakai ini!” Seru cowok itu seraya menyerahkan sebuah paying kepada Qisya.
Qisya mengambil payung dari tangan cowok itu dan menggunakannya sesuai dengan kata-kata cowok itu.
“Sekarang, ayo ikut aku!” Ajak cowok itu dn Qisya lagi-lagi terhipnotis dengan kata-kata cowok itu.
Qisya melangkahkan kakinya sesuai dengan perintah cowok itu tanpa membantah sedikit pun.  Cowok itu memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di sebuah taman. “Qisya!” Panggilan yang cukup keras dari cowok itu mampu menyadarkan Qisya.
Qisya terlihat linglung saat cowok itu menyadarkan kesadarannya, “Kamu siapa? Kenapa hujan-hujan begini aku berada di luar rumah?” Tanya Qisya.
“Aku yang mengajakmu keluar rumah. Perkenalkan, aku Niar.” Ucapnya seraya membungkukkan badannya.
“Niar?” Gumam Qisya , matanya menerawang. “Seingatku, aku tidak pernah memiliki teman atau kenalan yang bernama Niar. Kenapa kamu bisa tahu nama dan tempat tinggalku?” Tanya Qisya menyelidik.
Niar tersenyum. “Dulu aku memang bukan teman kamu, tapi sekarang kita nerteman , kan?” Tanya Niar meyakinkan.
Qisya tak menanggapi gurauan Niar, ia tetap menunggu pertanyaannya terjawab dengan jelas.
Niar yang mengerti kemauan Qisya, memberanikan diri untuk bercerita. “Oke…oke… Hmmm,. Mungkin kamu tidak akan percaya dengan cerita ku, tapi karena kamu meminta untuk menceritakan semuanya, aku akan coba menceritakannya secara perlahan supaya kamu  bisa mengerti.” Niar menghela nafas sesaat. “Aku terkena hukuman dari dewan kerajaan di tempatku karena aku melakukan kesalahan yang amat fatal. Hukuman yang diberikan oleh dewan kerajaan terhadapku adalah membuat hati seorang perempuan yang sedang bersedih menjadi bahagia. Sebenarnya aku bebas memilih siapapun yang enjadi targetku, tapi seseorang di kerjaan berkata kepadaku ada seorang gadis remaja yang cantik sedang diselimuti kesedihan yang mendalam. Gadis itu selalu melihat ke langit saat hujan ketika hatinya mulai merindukan kehadiran kekasihnya. Kekasih yang telah mati dalam kecelakaan.” Niar menghentikan ceritanya, ia ingin tahu apa reaksi Qisya setelah mendengar ceritanya.
“Imajinasimu terlalu tinggi. Kamu cocok menjadi penulis dan aku yakin imajinasimu ini dapat dijadikan buku sehingga kamu bisa menjadi orang yang popular.” Ejek Qisya dan beranjak pergi dari hadapan Niar. Akan tetapi, sepasang tangan tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kedua payung mereka terjatuh , tapi Qisya tak sedikit pun merasakan kedinginan ataupun air hujan yang membasahi dirinya. Qisy meronta, tapi tentu kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan Niar.
“Aku mohon batulah aku. Jika kamu mu membantuku, aku akn memberikan apapun yang kamu mau sekalipun Qiyo yang kamu inginkan.” Ucap Niar tulus dan masih memeluk Qisya.
Perlahan Qisya tak lagi meronta, penawaran yang dilakukan Qiyo sepertinya berhasil, “Kamu benar-benar bisa mengembalikan Qiyo?” Tanya Qisya lagi.
Niar mengagguk yakin. “Tentu saja.” Jawabnya singkat.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat hukumanmu terselesaikan.?” Tanya Qisya semangat.
Niar terdiam sesaat dan kemudian tersenyum. “Ciuman pertama kamu.”
“Nggak akan!” Bentak Qisya seraya mendorong Niar menjauh dari tubuhnya.
Niar menggedikkan bahunya. “Itu terserah pada dirimu.”
Qisya tak berani memberikan ciuman pertamanya pada siapapun tak terkecuali Qiyo, cowok yang dipacarinya selama setahun, bahakan sampai akhir hayatnya. Jadi, mana mungkin ia bisa memberikan ciuman pertamanya begitu saja pada cowok yang baru ia kenal, apalagi ia tak memiliki perasaan apapun pada cowok itu.
“Aku tidak akan memaksamu, kita bisa memulainya secara perlahan. Lebih baik kamu pulang, hari sudang mulai senja dan aku pikir kamu membutuhkan waktu untuk memikirkan perjanjian kita ini.” Kata Nia bijak.
***
“Sya, gue balik duluan, ya!” Pamit Patris saat bel pulang sekolah berbunyi.
“Ya!” Jawab Qisya setengah hati. Sebenarnya ia agak sebal harus tetap berada di sekolah karena hujan yang turun begitu deras dan maminya tak bisa menjemputnya.
“Butuh bantuan, Princess?” Qisya tersentak kaget melihat Niar ada di belakangnya.
“Kamu? Bagaimana kamu bisa tau sekolah ku?” Tanya Qisya yang terheran-heran.
Niar tertawa bangga. “Tentu saja aku tahu. Ku kan harus tahu dengan jelas tentang kekasihku.” Katanya dengan begitu yakin.
Kali ini gantian Qisya yang tertawa dan membuat heran Niar. “Kekasih? Siapa yang mau jadi kekasih kamu? Jangan kegeeran kamu!” Ejek Qisya samba terus memajang senyum di wajahnya.
Niar tersenyum, hatinya merasa senang dan lega melihat Qisya tertawa. Bukan karena rencananya berjalan dengan baik, tapi ia senang meliat senyum gadis yang menjadi target misinya. “Senyum seperti itu lebih baik daripada terus-terusan melamun dan bersedih.” Ucapnya dan membuat Qisya sedikit tersipu malu.
“Apa sih kamu!”
“Pulang lah dan beristirahatlah. Hati-hati, ya.” Katanya.
“Tapi, bagaimana akau bisa pulang kalau masih hujan seperti ini?” Qisya mengadahkan tangannya.
“Hujan berehenti!” Seru Niar dan seketika itu hujan mulai reda san langit pun semakin cerah.
Qisya yang terkejut langsung memandang langit biru yang dihiasi pelangi. “Niar kamu benar-benar…” Qisya makin bingung ketika Niar sudah menghilang begitu cepat dari hadapannya. “Pangeran hujan.” Gumamnya. Ia kembali mengedarkan pandangannya dan setelah yakin kalau Niar tak ada lagi di sekelilingnya, ia melangkahkan kakinya menauh dari sekolah menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, senyumnya mulai mengembang.
“Akhir-akhir ini kayaknya sering bnget hujan yaa? Lama-lama jadi banjir deh.” Keluh Patris. “Sya, lagi sibuk apa sih? Gue curhat sampe nggak didengerin.” Keluhnya lagi saat tahu Qiya tidak mempedulikannya.
“Lu tuh bukannya curhat, tapi ngeluh!” Kata Qisya sambil terus mengerjakan sesuatu.
“Yaa, sama lah. Beda-beda tipis.” Jawab Patris tak mau kalah. “Tapi, lu lagi buat apaan sih? Mahkota?” Tanya Paris.
Qisya mengangguk dan tersenyum, “Bagus, nggak?”
Patris mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus sih, tapi buat siapa?” Tanya Patris penasaran dan Qisya hanya tersenyum. “Sya, jangan bilang lu mau kasih mahkota ini ke pangeran khayalan lu?”
“Enak aja. Dia itu bukan khayalan gue, tapi pangeran gue. Calon, sih.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Qisya..Qisya.. Sakit lu!”
“Idih nggak percaya. Kalau nggak percaya nanti gue tunjukin deh.” Tantang Qisya.
Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Waktu pulang sekolah. “Mana pangeran khayalan lu?” Tagih Patris
“Sabar dooong, Patris.” Qisya dan Patris menunggu di depan gerbang sambil terus memperjuangkan argumennya.
“Qisya!” Panggil seseorang dan Qisya yakin kalau suara itu adalah suara Niar.
“Hei!” Sahut Qisya dengan riang.
“Sya, siapa tuh cakep banget! Agak mirip Qiyo.” Bisik Patris.
“Ehm, Patris kenalin, temen gue. Niar.” Ujar Qisya dengan bangga memperkenalkan Patris dengan pangerannya.
Niar tersenyum. “Qisya, kamu ada waktu? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Qisya memandang Patris, sahabatnya, seperti meminta ijin. Patris pun mengangguk.
“Mau ke mana?”
“Yuk, ikut aja!” Niar menggenggam tangan Qisya dan berjalan menuju tempat yang sudah ia persiapkan.
Berjalan beberapa menit di tengah-tengah hujan tak membuat Qisya kebasahan. Mereka berjalan sambil bersenda gurau. Hati Qisya dibuat melayang karena gombalan Niar.
Niar melepaskan genggaman tangannya dan mengadahkan tangan ke langit. Ia mengambil tetesan air dan membuatnya menjadi gelembung yang lumayan besar. “Ambillah!” Perintahnya.
Meskipun timbul banyak pertanyaan yang timbul di kepalanya, tapi ia tetap menuruti perintah Niar. “Yaaaa…” Keluh Qisya ketika gelembung yang dibuat Niar pecah di tangannya. “Maaf, Niar. Aku…”
“Qisya, nggak semua hal buruk yang terjadi di kehidupan kamu itu adalah kesalahan kamu. Terkadang itu terjadi karena memang ketidakmampuan kita dalam menjaga sesuatu.  Berhentilah menyalahkan dirimu. Qiyo meninggal karena takdir.” Niar menggenggam tangan Qisya.
“Benarkah?” Tanya Qisya ragu.
Niar mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya ke bibir Qisya. Mereka berciuman beberapa saat sampai sebuah cahaya menyiaukan mereka berdua.
“Niar, tugasmu telah selesai. Kembalilah!” Perintah suara itu.
Qisya menatap Niar, “Kamu akan pergi?”
“Untuk sesaat.”
“Niar ini untukmu!” Seru Qisya mengejar sosok Niar yang terangkat ke langit seraya menyerahkan mahkota yang ia buat dari daun cemara.
Hujan kembali turun dengan deras. Sudah beberapa bulan ini Qisya selalu duduk di saat di balkonnya saat hujan.
“Niar sudah menjadi pangeran.” Gumamnya.
“Dan Qisya sudah menjadi permaisuri pangeran Niar.” Sebuah suara mengejutkan Qisya.
Qisya menoleh ke bawah dan mendapati seorang cowok berdiri dengan sebuah payung. Kepalanya dihiasi sebuah mahkota. Mahkota daun cemara buatannya. Perlahan senyum manis terukir di wajah Qisya. Tanpa menunggu perintah apapun, Qisya berlari menghampiri Niar.
“Kok kamu ada di sini?”
“Aku dapat hukuman lagi.”
“Hukuman apa?”
“Menjaga permaisuri Pangeran Niar.” Ucapnya dan membuat Qisya tersenyum malu.
Mereka saling berpelukan dan berciuman mengungkapkan rasa rindu yang mereka rasakan masing-masing.


*diikutsertakan dalam lomba cerpen DIVA Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment