Jumat, 13 Desember 2013

EIRENE (KEEP TRUST)



Hari sudah menjelang siang tidak ada tanda-tanda keberadaan Eirene. Aku dan Ananta sudah mencari sejak kemarin siang setelah kami berkunjung ke rumah mama dan papa. Lelah yang aku rasakan tidak aku ceritakan pada Ananta, ia terlalu bersemangat mencari Eirene dan aku tidak mungkin tega mengeluh sehingga mematahkan semangat Ananta. Kami baru saja menyusuri taman kota yang menuryt Ananta menjadi tempat bermain anak-anak di waktu sore. Menurutnya juga taman ini menjadi tempat yang paling sering dikunjungi oleh dirinya dan putri kecil kami.
"Sepi sekali." Ananta menggumam.
Mataku pun ikut jelalatan melihat area taman yang bisa dikatakan luas dan asri. Benar kata Ananta, taman ini terlalu sepi.
   "Mungkin taman ini ramai pada sore hari." Ucapku memberi nilai positif pada taman yang terlihat menyedihkan ini.
Ananta tampak mengangguk-anggukan kepalanya. "Sudah siang, Pap. Kita cari makan dulu saja." Usul Ananta. Aku pun hanya mengangguk dan mulai kembalu berkonsentrasi untuk menyetir. Kembali beradu cepat dengan kendaraan lainnta di ibukota membuatku mulai jengah. Mungkin karena terlalu lelah menyetir atau juga lelah karna rasa lapar dan bosan yang mulai mengintimidasi diriku. Lagi-lagi aku memilih diam dan tidak mwnceritakan apapun pada Ananta.
"Kita makan nasi di sebelah sana saja, Pap." Tunjuk Ananta pada sebuah rumah makan masakan padang yang berada di seberang jalan.
"Kamu mau makanan nasi padang?"
"Iya. Aku kira itu tempat makan terdekat sehingga kita bisa kembali lagi ke taman tadi."
Tak banyak pembicaraan yang aku buat sepanjang hari ini dengan Ananta. Ia kebih banyak mencari topik pembicaraan, sedangkan aku lebih banyak diam dan menyruti permintaannya. Aku hanya menghela nafas, memikirkan apa yang aku lakukan dengan Ananta sejak kemarin siang akankah membuahkan hasil. Sepuluh tahun sudah waktu telah berlalu dan wajah Eirene pasti sudah berubah.

Senin, 02 Desember 2013

Menjadi Nekaders J50K

Well, inilah celotehan gue yang berarti komitmen gue buat ikutan ajang J50K yang ternyata diadakan secara rutin setiap tahunnya di bulan Januari. Tantangannya adalah kita harus bisa menulis karya fiksi yang tentu saja karya orisinil milik kita dalam 5000 kata dan waktunya hanya 31 hari! 31 hari?? But, gue yakin ini pasti seru! Kita jadi punya deadline yang nggak bisa ada kata 'males' buat nulis. Satu lagi yang buat gue nggak takut ikut tantangan ini adalah ternyata kita bisa ikutan kelas online untuk mendapatkan kiat-kiat supaya bisa
menyelesaikan tantangan ini.
Jadi, nggak ada alasan minder dan takut karna nggak bisa menyelesaikan tantangan J50K. Lagi pula kalau gue sendiri menjadikan ajang ini untuk latihan dan juga menambah ilmu dalam dunia menulis. 'Because life to write' is my motto ;)
Rencananya sih gue mau menulis cerita ber-genre misteri, tapi tetap nggak lepas sama yang namanya romance mengingat saat ini sangat banyak penyuka novel ber-genre romance. 
Cukup sekian celotehan gue yang menjadikan permulaan gue menjadi Nekaders J50K

Keep write!
http://www.kampungfiksi.com/2013/10/dibuka-kelas-menulis-online-persiapan.html

Minggu, 29 September 2013

EIRENE (JUST BELIEVE)

“Sudah selesai?” Sebuah suara lembut nan merdu menyegarkan telingaku. Aku menoleh ke sumber suara yang berasala dari seorang wanita berambut panjang yang berbalut dress berwarna putih dengan corak batik. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Aku tidak percaya Ananta sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tak ada lagi wajah pucat dengan tatapan kosong. Rambutnya yang panjang tergerai rapi.  “Apa pakaiannya aneh?” Tanya Ananta seraya melihat pakaian yang dikenakannya.
Aku menggeleng cepat, tak ingin melihat Ananta berpikir buruk sedikit pun. “Sama sekali tidak. Kamu sangat cantik hari ini.” Pujiku dan menghampirinya. Kecupan ringan mendarat di kepalanya.
“Baguslah. Aku takut Eirene tidak menyukai cara berpakaianku saat kami bertemu nanti.” Ucapnya seraya merapikan kerah kemejaku.
Hari ini kami memang akan mencari Eirene, kembali. Setelah beberapa waktu lalu aku berjanji pada Ananta akan mencari Eirene bersama-sama, akhirnya aku memiliki waktu luang untuk menepati janjiku pada Ananta.
Kami berangkat tepat pukul delapan pagi, saat Ananta memintaku untuk mengunjungi keadiaman kedua orang tuaku. “Apa perlu kita ke sana? Bukannya kamu mau kita mencari Eirene?”
Ananta tersenyum manis. “Aku mau minta restu sama mama dan papa, supaya kita bisa menemukan Eirene secepatnya.”
Aku tertegun sejenak. Mencerna baik-baik setiap kata dan keinginan baik yang Ananta tunjukan. Akan tetapi, mama dan papa tidak mungkin bisa menerima dengan baik keinginan Eirene. Bukan hanya Ananta yang dipikir gila, aku pun bisa dianggap gila oleh mama dan papa. Di sisi lain, aku tidak mungkin menolak permintaan Ananta, aku takut dirinya akan tersinggung dengan apa yang aku pikirkan. Pikiranku kini berkecamuk, kalaupun aku menolak permintaan Ananta, aku harus memiliki alasan yang masuk akal dan jangan sampai menyinggungnya.
“Aku akan bicara baik-baik pada mama. Kamu jangan khawatir.” Ujarnya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk lemas. Tak ada yang bisa aku lakukan, ketika Ananta sudah memiiki keyakinan seperti itu.
Rumah kedua orang tuaku berada tidak jauh dari kediaman kami. Kami hanya cukup menempuh waktu kurang dari sejam dengan syarat jalan yang sedang tidak dipadati kendaraan lain. Mobilku berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik dengan pintu gerbang cokelat yang menjulang tinggi. Seorang satpam berdiri di samping pagar saat mobilku masuk ke dalam halaman rumah klasik tersebut.
“Pagi, Den! Pagi, Non!” Sapa seorang wanita paruh baya saat aku dan Ananta keluar dari mobil.
“Pagi, Bi. Mama sama papa ada?” Tanya Ananta.
Nampaknya Bi ‘Nah –wanita paruh baya yang bertugas bersih-bersih di rumah oran tuaku- juga terkejut melihat keadaan Ananta. Aku bisa melihat pandangannya sekilas menatap ke arahku. “Ada, Non. Nyonya dan tuan ada di dalam.” Jawab Bi ‘Nah yang membantu membawa kantong plastic yang dipegang Ananta.
“Ananta?” Sapaan dari mulut mama terdengar agak ganjil. Mungkin sama terkejutnya dengan Bi ‘Nah dan juga aku.
“Pagi, Mam!” Ananta menghampiri tubuh mama yang berdiri agak kaku dan memeluknya. “Ini Ananta bawakan kue kesukaan mama.”Ujarnya lagi. “Pap, gimana kabarnya? Kakinya masih suka sakit?” Ananta mencium tangan papa.
Sepertinya tidak ada satu orang pun di rumah ini yang tidak terkejut dengan sikap Ananta yang baru, atau bisa disebut, kesembuhan Ananta. “Kabar papa baik. Kaki papa juga sudah agak baikan semenjak dikasih racikan obat dari kamu.” Ucap papa seraya memeluk tubuh Ananta. Aku agak sedikit merasa haru melihatnya. Ananta memang sudah dianggap anak oleh kedua orang tuaku.
Ananta dan mama berjalan ke dapur, sedangkan aku dan pap berbincang-bincang di ruang keluarga. “Apa tadi itu benar-benar Ananta?” Tanya papa yang sangat penasaran.
Aku mengangguk mantap. “Ya, itu Ananta, istri Ryo dan maminya Eirene.” Kataku yakin.
Aku melihat masih ada raut kebingungan di wajah papa, ia bahkan tak mampu berkata apapun lagi untuk menunjukan rasa senangnya. “Bagaimana bisa?”
Aku menelan ludahku. “Aku berjanji pada Ananta akan membantunya mencari Eirene.” Jawabku . Papa sepertinya makin terkejut dengan jawabanku, tapi aku sudah berjanji pada Ananta, terlebih pada diriku sendiri kalau aku akan mendukung keyakinan Ananta. “Kalau Ananta saja yakin, Pap, Ryo nggak punya alasan untuk tidak ikut memiliki keyakinan itu.” Aku menghela nafas sejenak, menunggu respon papa.
“Tapi, itu sudah lama, Yo. Polisi saja sudah tidak mampu menemukannya. Apa salahnya kalau kalian melupakannya. Cukup mendoakannya saja.”
Aku menggeleng perlahan.
“Ananta nggak mau kalau nanti Eirene berpikir ayah ibunya tidak mencarinya saat ia hilang dari kami, Pa.” Suara Ananta mengejutkan aku dan Papa. Di sebelahnya mama berdiri dengan senyum tulus. “Ananta bisa mengerti mama dan papa pasti sedih dengan berpikir keadaan Ananta yang seperti ini, tetapi Ananta berjanji akan membuktikan kalau ucapan dan keyakinan Ananta itu benar, Pa. Eirene masih hidup di luar sana.” Ujar Ananta begitu lantang. Aku bangkit dari sofa berwarna hitam dan merangkul Ananta.
“Kami masih dalam pencarian Eirene, Pap. Ryo dan Ananta hanya minta doa dari mama dan papa agar Eirene bisa cepat bertemu dan kita semua pasti bisa berkumpul kembali.
Langkah mama menghampiri papa. Aku bisa melihat senyuman dari bibir mama mengurangi keras kepala papa. “Aku mau melihat cucuku lagi, Dre. Ananta benar, kalau Ryo pun hilang dari kita tidak mungkin kita bisa melupakan Ryo begitu saja. Aku juga seorang ibu, Dre. Batin seorang ibu pada anaknya sangat kuat dan jika batin Ananta merasakan masih adanya kehidupan di diri Eirene, kita hanya bisa mendukungnya. Lewat doa, Dre. “ Ujar mama yang akhirnya mampu meyakinkan papa.
“Aku akan menunggu kehadiran Eirene.” Ucap papa yang membuatkami semua tersenyum. Pundak Ananta yang dari tadi menegang kini sudah mulai lemas. Aku rasa Ananta lebih banyak menanggung semua beban ini, daripada aku.

“Kamu berhasil, Hun!” Bisikku di telinganya dan Ananta tersenyum manis.

Senin, 16 September 2013

EIRENE (My New Brother)

“Senja!!!” Panggil Eyang Nur dengan suara lembutnya.
Seorang wanita belia dengan rambut hitam yang tergerai keluar dari balik pintu cokelat yang terlihat usang. “Saya, Eyang.” Sahutnya dan duduk di sebelah Eyang Nur.
“Kamu bisa antarkan kue-kue ini ke warung dan toko langganan Eyang? Lintang sepertinya sedang sibuk dengan calon suaminya.” Cibir Eyang Nur yang nampak terliat lucu di mata Senja.
“Jangan begitu, Eyang. Sini biar Senja yang atarkan. Senja bisa, kok.” Ucap Senja tulus seraya mengangkat dua keranjang dari atas meja. “Senja pergi dulu, ya, Eyang.” Pamitnya seraya mencium tangan dan pipi Eyang Nur. Kakinya dengan gesit melangkah keluar rumah.
Tiin.. Sebuah klakson motor mengejutkan Senja dan membuatnya menoleh ke sumber suara. “Ck,.. eh, Kak Fajar.” Makian yang hendak diucapkan Senja tertahan, ia memilih untuk diam dan berdiri lebih ke pinggir.
“Kamu mau antar kue?” Tanya Fajar.
Senja mengangguk. “Iya, Kak Lintang…. Eh, Kak, mau diapain?” Tanya Senja panik saat Fajar menarik kedua keranjang yang berada di tangan Senja dan meletakkan di motornya.
“Ayo, naik!” Perintahnya, tapi tak membuat Senja bergerak. Fajar mendengus kesal. “Ngapain kamu diam di situ? Aku mana tahu alamat toko langganan Eyang, kan kamu yang pegang alamatnya.” Ujar Fajar dan kali ini membuat Senja ikut naik di atas motor yang dikendarai Fajar.
Satu demi satu warung langganan Eyang Nur di datangi oleh Fajar dan Senja. Sifat Fajar yang berubah membuat Senja penasaran. Akan tetapi, ia uga tidak memiliki keberanian sama sekali untuk brbicara banyak pada kakaknya yang satu ini. Membantu mengantarkan aku ke toko saja sudah bagus. Jangan sampai aku di turunkan di jalan karna bicara macam-macam! Batin Senja pada dirinya.
“Kok kita ke sini, Kak?” Tanya Senja saat Fajar memarkirkan motornya di depan sebuah rumah makan.
“Memangnya kamu tidak lapar?”
“Lapar.” Jawab Senja pelan, “Tapi, Kak tanggung dua toko lagi abis itu kita pulang. Eyang pasti sudah masak.”
Fajar mengambil kertas dari tangan Senja. “Ini masih dua kilometer lagi. Kamu bisa tahan? Aku sih, nggak. Kalau kamu mau, pergi saja sendiri.” Ujar Fajar acuh.
Senja nampak menimbang-nimbang, tapi beberapa detik kemudian ia menarik kertas yang diambil dari tangannya. “Baik, Senja akan pergi sendiri.” Jawabnya tegas dan menurunkan sebuah keranjang yang masih berisi kue buatan Eyang Nur.
Sikap Fajar yang memang keras sempat benar-benar membiarkan Senja berjalan menjauhinya menuju tempat yang ditujunya. Namun, sedetik kemudian ia kembali sudah berada di atas motor dan menyusul Senja. “Dasar keras kepala!” Umpatnya saat sudah berada di samping Senja. “Cepat naik!”
Senyum Senja mengembang. Ia tidak tahu apa yang terjadi selama ini, hingga dirinya merasa dibenci kakak laki-lakinya, tapi hari ini ia tahu, Fajar, kakaknya tidak sebenci itu pada dirinya. Fajar adalah kakak yang baik. “Kak Fajar juga, keras kepala.” Umpatnya pelan.
Matahari semakin meninggi sampai akhirnya mereka tiba di toko terakhir. “Ini uang yang kemarin, ya, Dik.” Ucap seorang wanita setengah baya dengan menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu.
“Trima kasih, Bu. Semoga makin lancar tokonya, Bu.” Ucap Senja tulus.
“Terima kasih, ya. Oh, iya, apa ade…”
“Senja, Bu. Nama saya Senja.” Ujar Senja seakan tahu maksud sang pemilik toko kue yang merangkap menjadi makananan utama ini.
“Oh, ya, apa, Dik, Senja sudah makan siang?” Senja menggeleng pelan. “Oh, kebetulan sekali, Senja sama masnya makan siang di sini saja. Ibu baru buat resep baru. Bagaimana, mau coba?”
“Apa tidak merepotkan, Bu?” Tanya Senja merasa tidak enak.
Sang ibu pemilik toko mengibaskan tangannya, “tentu saja tidak. Mari masuk!” Ajaknya sedikit memaksa karna melihat Senja yang masih merasa sungkan.
Makanan dengan menu utama nasi merah yang diracik bersamaan dengan bumbu rempah serta udang tumis sepertinya sangat cocok di mulut Senja dan Fajar.
“Bagaimana?” Tanya sang pemilik toko.
“Enak, Bu.” Jawab Fajar disertai dengan senyuman Senja.
“Baguslah kalau enak. Kalau Senja dan Fajar mau nambah bisa minta lagi sama pelayan ibu, ya?” Uja Sang pemilim toko yang kemudian pamit meninggalkan mereka untuk melayani pembeli yang mulai berdatangan.
“Bener, Kak, enak?” Tanya Senja lagi.
Fajar mengangguk mantap. “Enak. Keras kepalamu itu ternyata menguntungkan, ya?” Ujar Fajar. “Kita jadi dapet makanan gratis. Enak lagi.” Tambahnya.
“Iya, dong! Pokoknya kalau jalan sama Senja itu harus untung. Hahahah…” Ucap Senja bangga dan membuat Fajar ikut tertawa.
Suasana terdahulu yang bagikan es, kini telah mencair. Tak ada lagi kecangunggan yang dirasakan Senja. Ia benar-benar merasa memiliki seorang kakak laki-laki. Berbeda dengan Fajar, ia merasa ada yang berbeda dalam dirinya saat melihat tawa Senja yang begitu lepas. Senja yang telah bertumbuh dewasa.
“Sudah, jangan tertawa terus. Lanjutkan makannya!” Perintah Fajar. Cepat-cepat ia menghapus pikiran kacaunya tentang Senja.
“Jadi, semuanya berapa, bu?”
DEG!!! Sebuah suara lembut seorang wanita yang terdengar di telinga Senja membuat dadanya serasa sesak. “Uhuuuk..Uhuuuk…” Makin sakit, hingga rasanya ia merasa sulit bernafas.
“Senja!! Kamu nggak apa-apa?” Tanya Fajar panik seraya menyodorkan segelas air ke mulut Senja.
“Aku nggak apa-apa, Kak.” Jawab Senja dengan nafas terengah-engah.


Minggu, 15 September 2013

THIS IS FOR YOU

ketika mencintaimu adalah sebuah beban
ketika menyangimu adalah sebuah perkara
ketika menyukaimu adalah sebuah masalah
tak kan mungkin ku tetap bertahan
tak kan mungkin ku masih di sini
tak kan mungkin ku menunggumu
menyukaimu adalah kesenangan
menyayangimu adalah keindahan
dan...
mencintaimu adalah anugrah


*********


Senin, 10 Juni 2013

EIRENE (EVERYTHING HAS CHANGE)

"Kamu tidak bisa seperti ini terus. Kamu harus bisa melanjutkan hidupmu! Ananta mungkin memang sudah tidak bisa kembali seperti dulu." Desakan orang tuaku untuk menceraikan Ananta membuatku semakin terpojok.
Dua hari lalu mereka datang berkunjung ke rumahku. Terlihat sekali kalau mereka sangat terkejut melihat keadaan Ananta yang tidak mengalami kemajuan melainkan bertambah buruk. Ananta sama sekali tidak bisa diajak bicara atau pun sekedar menanggapi setiap ucapan mama dan papa. Itulah yang menjadi alasan kuat mereka memaksaku untuk membawa Ananta ke rumah sakit jiwa dan menceraikannya.
"Aku tidak mungkin meninggalkan Ananta. Dia sudah cukup terpuruk dengan kehilangan Eirene." Belaku, tapi sepertinya tak membuat pemikiran mama atau pun papa berubah. Aku cukup mengerti dengan permintaan keluargaku mengingat aku hanyalah anak mereka satu-satunya. Mereka menginginkan seorang cucu, kehilangan Eirene juga merupakan pukulan besar untuk mereka, tapi setidaknya Ananta dan aku bisa memberikan mereka pengganti Eirene.
***
Aku membuka pintu kamarku perlahan, melihat Ananta yang masih di tempatnya semula membuat hatiku selalu sakit. Aku merasa tidak berguna dengan tidak bisa berbuat apa-apa untuk Ananta maupun Eirene. Aku mebelai rambutnya dengan lembut, kecupan ringanku mendarat di keningnya. "Morning." Sapaku lirih. Mataku kembali terasa panas menahan air mata yang tak sabar ingin keluar dari mataku.Aku menelan ludahku dengan susah payah, seakan kekeringan melanda kerongkonganku.
Seperti biasanya tidak ada tanggapan dari Ananta. Aku mencoba tersenyum mewaraskan pikiranku. Apa yang harusnya aku lakukan? Apa aku seharusnya mengikuti permintaan mama dan papa? Pikiran dan hatiku mulai bergejolak. Aku masih sangat mencintai Ananta.
Kamu memang mencintainya, tapi apa dia masih bisa merasakan cinta selama ini? Ia bahkan tidak membalas senyum dan ucapan kasih sayang darimu? Kata hatiku
Jangan bertindak bodoh! Ananta tidak pernah meninggalkanmu saat dirimu terpuruk bahkan mengalami kebangkrutan! Apa hanya karena ini kamu tega membiarkannya sendiri? Kata hatiku yang lain.
Aku menggeleng cepat. Aku putuskan untuk menyembuhkan Ananta sendiri dan tidak ada perceraian seperti nasihat mama dan papa. Aku kembali menatap Ananta lekat-lekat, telapak tangannya yang sedingin es aku genggam dengan erat.
"Ananta sayang, kita keluar, yuk!" Ajakku dengan harapan Ananta akan memberikan respon. "Kita cari Irene lagi." Tambahku. Nafasku tertahan berharap usahaku untuk mendapatkan respon Ananta tidak sia-sia.
Perlahan-lahan Ananta memperhadapkan wajahnya padaku. Sorot matanya sangat menyejukan, tidak ada lagi tatapan kosong seperti biasanya. "Kita cari Irene lagi?" Tanyanya mengulang kata-kataku.
Senyumku mengembang, air mata yang mulai membasahi pipiku tidak aku hiraukan. Mendapatkan responnya saja aku sudah merasa senang, apalagi ditambah dengan mendengar suaranya. Aku memeluknya dengan erat. "Iya, kita akan cari Irene!" Jawabku dengan lantang.
Ananta memang belum sembuh benar, ia masih seperti orang linglung dan aku memakluminya. Hampir sepuluh tahun ia hanya berkutat dengan emosinya dan mulai detik ini Ananta sudah mengalami kemajuan drastis. Aku tidak semata-mata membohongi Ananta dengan mengajaknya mencari Irene, aku berjanji akan mencari Irene hingga ketemu. Kalau Ananta bisa mempercayai Irene masih ada di luar sana, aku pun akan mendukungnya dan membantunya untuk mencari Irene. Putri kami. 

Jumat, 07 Juni 2013

THE SPECTA EVENT IS COME BACK!!!


November tahun lalu kita semua pecinta novel dan writing lover berlomba untuk bisa menyelesaikan novel dalam waktu sebulan di event nanowrimo.
Now, buat kamu-kamu yang kemarin terlambat dan belum mampu menyelesaikan novel kamu, sekarang waktunya kita mulai challange ini!!
Gimana caranya, visit: http://www.campnanowrimo.org/sign_in dan kamu bisa mengklik 'join us' untuk ikut bergabung dan mengikuti tantangan ini.
buat kamu yang sudah memiliki account nanowrimo bisa langsung memasukan e-mail atau user name beserta paswword kamu dan... tradaaaa....
kamu sudah bisa mengikuti ajang campnanowrimo tahun ini!
Be the first, guys!!!




 *an idyllic writers retreat smack dab-in the middle of your crazy life*

Rabu, 20 Februari 2013

letters for you

Dear You....
Hai! Apa kabar kamu??? Aku dengar kamu sedang sangat sibuk dengan kuliahmu? Ingat, kamu harus tetap jaga kesehatan! aku senang kamu akhirnya bisa merasa nyaman tinggal di sana. Meskipun terkadang aku khawatir dengan keadaanmu, Kamu yang tinggal jauh dari orangtua kamu buat aku sulit untuk tau keadaan kamu. Tapi, aku tidak pernah henti menyebut namamu saat aku berdoa. Kamu benar-benar harus menjaga kesehatanmu. Tidak tahukah kamu aku sangat khawatir saat dua minggu lalu kita bertemu dan kamu terserang flu parah. Aku benar-benar khawatir.
ya, mungkin aku memang terlalu berlebihan :) oh, ya, dua minggu tidak melihat wajahmu membuatku dilanda rindu berat. Apakah kamu punya rasa yang sama? Aku sangat berharap setidaknya ada sedikit rasa itu di hati kamu.
Mungkin sampai sini dulu aku tulis suratnya, aku harus pergi. Kamu jaga kesehatan, ya :)

 Love ,
me
Seorang perempuan berambut pendek melipat kertas yang telah ditulisnya dan meletakkan di dalam sebuah kotak berwarna biru langit. Kotak yang terpasang foto sepasang kekasih di bagian penutupnya. Ia tersenyum sekilas, dan bibirnya terlihat mengucapkan sebuah kalimat. "I love you." Bisiknya.
Tak lama terdengar suara pintu kamarnya terbuka, seorang perempuan dan seorang laki-laki berpakaian putih masuk menghampirinya. "Pagi, Vizzy, sudah siap untuk bermain?" Ajak si perempuan yang memakai setelan putih.
Perempuan berambut pendek itu langsung menoleh dan sedikit terkejut dengan kedatangan orang lain di kamarnya tampak merengut. "Kenapa tidak ketuk pintu lebih dulu?" Tanyanya kesal.
"Maaf, tadinya kami ingin memberikanmu kejutan. Kamu sudah siap? Teman-teman yang lain sudah menunggumu di taman." Jawab si perempuan dengan sabar.
Vizzy mengangguk dan melangkah didampingi oleh perempuan berbaju putih.
***
"Pagi, Bisa saya bertemu dengan pasien bernama Vizzy?" Tanya seorang pria berkulit putih pada resepsionis.
"Bapak ini siapa?" Tanyanya terdengar menyelidik.
"Saya Vian. Temannya." Jawabnya singkat dan sang suster yang sekaligus bertugas sebagai resepsionis
"Nona Vizzy sedang terapi, mungkin anda ingin menunggunya di kamar inapnya?" 
Pria berkulit putih yang kira-kira berumur di atas dua puluh lima tahun itu menganggukkan kepalanya tanda ia meneria tawaran sang suster untuk menuggu di kamar inap tempat Vizzy di rawat. Pandangannya mulai beredar meneliti setiap sudut ruang kamar inap Vizzy. Hatinya miris melihat ruangan yang tidak terlalu besar dengan dinding berwana putih. Inikah tempat yang menjadi penjara bagi Vizzy? Pandangannya berhenti saat melihat sebuah kotak dimana wajahnya terlihat begitu muda tertempel di kotak tersebut. Tangannya dengan perlahan membuka kotak coklat tersebut dan rasa penasaran semakin menyelimutinya ketika melihat begitu banyak lembaran kertas di dalamnya. Lembar demi lembar mulai ia baca dan tanpa sadar air matanya turun begitu saja. 
"Hei!! Kamu!" Bentak Vizzy yang mendapati orang lain berada di dalam kamrnya. "Ngapain kamu baca ini?!" Omelnya dan langsung mengambil kertas yang dipegang Vian. Tangan Vizzy dengan lembut merapikan kertas-kertas yang berada di mejanya seakan-akan kertas tersebut sangat mudah terkoyak. "Nanti Vian marah." Gumamnya dan masih terus membereskan kertas-kertas yang ditulis tangan olehnya.
Sementara itu, Vian memperhatikan Vizzy dengan mata berair. Hatinya benar-benar teriris. Manusia seperti apa yang membuat dirinya seperti ini? Apa bisa orang itu dimaafkan?Makinya dalam hati. "Vizzy.... Ini aku datang." Ujar Vian dengan lirih, tapi Vizzy tak menanggapi. "Zy, kenapa kamu sampai begini? Maafin aku, Zy." Kata Vian lagi dan perhatian Vizzy tetap tidak teralihkan sampai akhirnya Vian memeluk tubuh Vizzy. Pundaknya terlihat gemetar saat memeluk tubuh wanita yang masih terasa spesial baginya.
"Hei, kamu kenapa?" Tegur Vizzy dan sedikit merasa risih dengan perlakuan Vian.
"Zy, ini aku, Vian."Ucap Vian dengan begitu lantang.
Mata Vizzy yang tadinya kosong, sekilas terlihat ada kilatan di matanya. Vizzy mengambil langkah mundur menjauhi tubuh laki-laki yag berada di depannya. "Pergi kamu! Kamu bukan Vian."
"Zy, aku benar-benar Vian. Surat-surat itu buat aku, kan?"
Mata Vizzy menatap tajam. Kilat kebencian terpancar dari sorot matanya. "Vian nggak pernah tinggaalin aku. Vian nggak pernah buat aku sakit! Kamu bukan Vian! Kamu yang mencuri Vian dari aku!!" Maki Vizzy histeris. "Keluar kamu! Aku benci kamu!!!" Teriakan Vizzy sepertinya terdengar cukup keras hingga para suster menghampirinya dan mencoba menenangkannya.
Vian mau tak mau menurut saat diminta untuk meninggalkan kamar Vizzy. Penyesalan benar-benar menyelimuti hatinya. Dirinya pernah menjallin kasih dengan wanita yang menempati kamar yang baru saja dihampirinya. Akan tetapi, ia memilih untuk meninggalkan wanita itu untuk mengejar pendidikannya dan mengubur kenangan yang pernah mereka lalui bersama. Setahun lalu ia mendengar kalau Vizzy sakit, tapi ia tidak pernah berpikir penyakit wanita itu akan separah ini. Ia sengaja mengulur waktu untuk menemui Vizzy, sampai akhirnya hari ini ia berani menjenguk mantan keasihnya yang ternyata memiliki gangguan jiwa akibat depresi berat yang di deritanya. Entah apa yang bisa ia perbuat untuk mengembalikan Vizzy seperti sediakala. Hati Vizzy memang sudah terlanjur hancur lebur dan itu karenanya. 



*the end*