“Senja!!!” Panggil Eyang Nur dengan suara lembutnya.
Seorang wanita belia dengan rambut hitam yang tergerai
keluar dari balik pintu cokelat yang terlihat usang. “Saya, Eyang.” Sahutnya
dan duduk di sebelah Eyang Nur.
“Kamu bisa antarkan kue-kue ini ke warung dan toko langganan
Eyang? Lintang sepertinya sedang sibuk dengan calon suaminya.” Cibir Eyang Nur
yang nampak terliat lucu di mata Senja.
“Jangan begitu, Eyang. Sini biar Senja yang atarkan. Senja
bisa, kok.” Ucap Senja tulus seraya mengangkat dua keranjang dari atas meja. “Senja
pergi dulu, ya, Eyang.” Pamitnya seraya mencium tangan dan pipi Eyang Nur.
Kakinya dengan gesit melangkah keluar rumah.
Tiin.. Sebuah klakson motor mengejutkan Senja dan membuatnya
menoleh ke sumber suara. “Ck,.. eh, Kak Fajar.” Makian yang hendak diucapkan
Senja tertahan, ia memilih untuk diam dan berdiri lebih ke pinggir.
“Kamu mau antar kue?” Tanya Fajar.
Senja mengangguk. “Iya, Kak Lintang…. Eh, Kak, mau diapain?”
Tanya Senja panik saat Fajar menarik kedua keranjang yang berada di tangan
Senja dan meletakkan di motornya.
“Ayo, naik!” Perintahnya, tapi tak membuat Senja bergerak. Fajar
mendengus kesal. “Ngapain kamu diam di situ? Aku mana tahu alamat toko langganan
Eyang, kan kamu yang pegang alamatnya.” Ujar Fajar dan kali ini membuat Senja
ikut naik di atas motor yang dikendarai Fajar.
Satu demi satu warung langganan Eyang Nur di datangi oleh
Fajar dan Senja. Sifat Fajar yang berubah membuat Senja penasaran. Akan tetapi,
ia uga tidak memiliki keberanian sama sekali untuk brbicara banyak pada
kakaknya yang satu ini. Membantu
mengantarkan aku ke toko saja sudah bagus. Jangan sampai aku di turunkan di
jalan karna bicara macam-macam! Batin Senja pada dirinya.
“Kok kita ke sini, Kak?” Tanya Senja saat Fajar memarkirkan
motornya di depan sebuah rumah makan.
“Memangnya kamu tidak lapar?”
“Lapar.” Jawab Senja pelan, “Tapi, Kak tanggung dua toko
lagi abis itu kita pulang. Eyang pasti sudah masak.”
Fajar mengambil kertas dari tangan Senja. “Ini masih dua
kilometer lagi. Kamu bisa tahan? Aku sih, nggak. Kalau kamu mau, pergi saja
sendiri.” Ujar Fajar acuh.
Senja nampak menimbang-nimbang, tapi beberapa detik kemudian
ia menarik kertas yang diambil dari tangannya. “Baik, Senja akan pergi sendiri.”
Jawabnya tegas dan menurunkan sebuah keranjang yang masih berisi kue buatan
Eyang Nur.
Sikap Fajar yang memang keras sempat benar-benar membiarkan
Senja berjalan menjauhinya menuju tempat yang ditujunya. Namun, sedetik
kemudian ia kembali sudah berada di atas motor dan menyusul Senja. “Dasar keras
kepala!” Umpatnya saat sudah berada di samping Senja. “Cepat naik!”
Senyum Senja mengembang. Ia tidak tahu apa yang terjadi
selama ini, hingga dirinya merasa dibenci kakak laki-lakinya, tapi hari ini ia
tahu, Fajar, kakaknya tidak sebenci itu pada dirinya. Fajar adalah kakak yang
baik. “Kak Fajar juga, keras kepala.” Umpatnya pelan.
Matahari semakin meninggi sampai akhirnya mereka tiba di
toko terakhir. “Ini uang yang kemarin, ya, Dik.” Ucap seorang wanita setengah
baya dengan menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu.
“Trima kasih, Bu. Semoga makin lancar tokonya, Bu.” Ucap
Senja tulus.
“Terima kasih, ya. Oh, iya, apa ade…”
“Senja, Bu. Nama saya Senja.” Ujar Senja seakan tahu maksud
sang pemilik toko kue yang merangkap menjadi makananan utama ini.
“Oh, ya, apa, Dik, Senja sudah makan siang?” Senja
menggeleng pelan. “Oh, kebetulan sekali, Senja sama masnya makan siang di sini
saja. Ibu baru buat resep baru. Bagaimana, mau coba?”
“Apa tidak merepotkan, Bu?” Tanya Senja merasa tidak enak.
Sang ibu pemilik toko mengibaskan tangannya, “tentu saja
tidak. Mari masuk!” Ajaknya sedikit memaksa karna melihat Senja yang masih
merasa sungkan.
Makanan dengan menu utama nasi merah yang diracik bersamaan
dengan bumbu rempah serta udang tumis sepertinya sangat cocok di mulut Senja
dan Fajar.
“Bagaimana?” Tanya sang pemilik toko.
“Enak, Bu.” Jawab Fajar disertai dengan senyuman Senja.
“Baguslah kalau enak. Kalau Senja dan Fajar mau nambah bisa
minta lagi sama pelayan ibu, ya?” Uja Sang pemilim toko yang kemudian pamit
meninggalkan mereka untuk melayani pembeli yang mulai berdatangan.
“Bener, Kak, enak?” Tanya Senja lagi.
Fajar mengangguk mantap. “Enak. Keras kepalamu itu ternyata
menguntungkan, ya?” Ujar Fajar. “Kita jadi dapet makanan gratis. Enak lagi.”
Tambahnya.
“Iya, dong! Pokoknya kalau jalan sama Senja itu harus
untung. Hahahah…” Ucap Senja bangga dan membuat Fajar ikut tertawa.
Suasana terdahulu yang bagikan es, kini telah mencair. Tak
ada lagi kecangunggan yang dirasakan Senja. Ia benar-benar merasa memiliki
seorang kakak laki-laki. Berbeda dengan Fajar, ia merasa ada yang berbeda dalam
dirinya saat melihat tawa Senja yang begitu lepas. Senja yang telah bertumbuh
dewasa.
“Sudah, jangan tertawa terus. Lanjutkan makannya!” Perintah
Fajar. Cepat-cepat ia menghapus pikiran kacaunya tentang Senja.
“Jadi, semuanya berapa, bu?”
DEG!!! Sebuah suara lembut seorang wanita yang terdengar di
telinga Senja membuat dadanya serasa sesak. “Uhuuuk..Uhuuuk…” Makin sakit,
hingga rasanya ia merasa sulit bernafas.
“Senja!! Kamu nggak apa-apa?” Tanya Fajar panik seraya
menyodorkan segelas air ke mulut Senja.
“Aku nggak apa-apa, Kak.” Jawab Senja dengan nafas
terengah-engah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment