Senin, 16 September 2013

EIRENE (My New Brother)

“Senja!!!” Panggil Eyang Nur dengan suara lembutnya.
Seorang wanita belia dengan rambut hitam yang tergerai keluar dari balik pintu cokelat yang terlihat usang. “Saya, Eyang.” Sahutnya dan duduk di sebelah Eyang Nur.
“Kamu bisa antarkan kue-kue ini ke warung dan toko langganan Eyang? Lintang sepertinya sedang sibuk dengan calon suaminya.” Cibir Eyang Nur yang nampak terliat lucu di mata Senja.
“Jangan begitu, Eyang. Sini biar Senja yang atarkan. Senja bisa, kok.” Ucap Senja tulus seraya mengangkat dua keranjang dari atas meja. “Senja pergi dulu, ya, Eyang.” Pamitnya seraya mencium tangan dan pipi Eyang Nur. Kakinya dengan gesit melangkah keluar rumah.
Tiin.. Sebuah klakson motor mengejutkan Senja dan membuatnya menoleh ke sumber suara. “Ck,.. eh, Kak Fajar.” Makian yang hendak diucapkan Senja tertahan, ia memilih untuk diam dan berdiri lebih ke pinggir.
“Kamu mau antar kue?” Tanya Fajar.
Senja mengangguk. “Iya, Kak Lintang…. Eh, Kak, mau diapain?” Tanya Senja panik saat Fajar menarik kedua keranjang yang berada di tangan Senja dan meletakkan di motornya.
“Ayo, naik!” Perintahnya, tapi tak membuat Senja bergerak. Fajar mendengus kesal. “Ngapain kamu diam di situ? Aku mana tahu alamat toko langganan Eyang, kan kamu yang pegang alamatnya.” Ujar Fajar dan kali ini membuat Senja ikut naik di atas motor yang dikendarai Fajar.
Satu demi satu warung langganan Eyang Nur di datangi oleh Fajar dan Senja. Sifat Fajar yang berubah membuat Senja penasaran. Akan tetapi, ia uga tidak memiliki keberanian sama sekali untuk brbicara banyak pada kakaknya yang satu ini. Membantu mengantarkan aku ke toko saja sudah bagus. Jangan sampai aku di turunkan di jalan karna bicara macam-macam! Batin Senja pada dirinya.
“Kok kita ke sini, Kak?” Tanya Senja saat Fajar memarkirkan motornya di depan sebuah rumah makan.
“Memangnya kamu tidak lapar?”
“Lapar.” Jawab Senja pelan, “Tapi, Kak tanggung dua toko lagi abis itu kita pulang. Eyang pasti sudah masak.”
Fajar mengambil kertas dari tangan Senja. “Ini masih dua kilometer lagi. Kamu bisa tahan? Aku sih, nggak. Kalau kamu mau, pergi saja sendiri.” Ujar Fajar acuh.
Senja nampak menimbang-nimbang, tapi beberapa detik kemudian ia menarik kertas yang diambil dari tangannya. “Baik, Senja akan pergi sendiri.” Jawabnya tegas dan menurunkan sebuah keranjang yang masih berisi kue buatan Eyang Nur.
Sikap Fajar yang memang keras sempat benar-benar membiarkan Senja berjalan menjauhinya menuju tempat yang ditujunya. Namun, sedetik kemudian ia kembali sudah berada di atas motor dan menyusul Senja. “Dasar keras kepala!” Umpatnya saat sudah berada di samping Senja. “Cepat naik!”
Senyum Senja mengembang. Ia tidak tahu apa yang terjadi selama ini, hingga dirinya merasa dibenci kakak laki-lakinya, tapi hari ini ia tahu, Fajar, kakaknya tidak sebenci itu pada dirinya. Fajar adalah kakak yang baik. “Kak Fajar juga, keras kepala.” Umpatnya pelan.
Matahari semakin meninggi sampai akhirnya mereka tiba di toko terakhir. “Ini uang yang kemarin, ya, Dik.” Ucap seorang wanita setengah baya dengan menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu.
“Trima kasih, Bu. Semoga makin lancar tokonya, Bu.” Ucap Senja tulus.
“Terima kasih, ya. Oh, iya, apa ade…”
“Senja, Bu. Nama saya Senja.” Ujar Senja seakan tahu maksud sang pemilik toko kue yang merangkap menjadi makananan utama ini.
“Oh, ya, apa, Dik, Senja sudah makan siang?” Senja menggeleng pelan. “Oh, kebetulan sekali, Senja sama masnya makan siang di sini saja. Ibu baru buat resep baru. Bagaimana, mau coba?”
“Apa tidak merepotkan, Bu?” Tanya Senja merasa tidak enak.
Sang ibu pemilik toko mengibaskan tangannya, “tentu saja tidak. Mari masuk!” Ajaknya sedikit memaksa karna melihat Senja yang masih merasa sungkan.
Makanan dengan menu utama nasi merah yang diracik bersamaan dengan bumbu rempah serta udang tumis sepertinya sangat cocok di mulut Senja dan Fajar.
“Bagaimana?” Tanya sang pemilik toko.
“Enak, Bu.” Jawab Fajar disertai dengan senyuman Senja.
“Baguslah kalau enak. Kalau Senja dan Fajar mau nambah bisa minta lagi sama pelayan ibu, ya?” Uja Sang pemilim toko yang kemudian pamit meninggalkan mereka untuk melayani pembeli yang mulai berdatangan.
“Bener, Kak, enak?” Tanya Senja lagi.
Fajar mengangguk mantap. “Enak. Keras kepalamu itu ternyata menguntungkan, ya?” Ujar Fajar. “Kita jadi dapet makanan gratis. Enak lagi.” Tambahnya.
“Iya, dong! Pokoknya kalau jalan sama Senja itu harus untung. Hahahah…” Ucap Senja bangga dan membuat Fajar ikut tertawa.
Suasana terdahulu yang bagikan es, kini telah mencair. Tak ada lagi kecangunggan yang dirasakan Senja. Ia benar-benar merasa memiliki seorang kakak laki-laki. Berbeda dengan Fajar, ia merasa ada yang berbeda dalam dirinya saat melihat tawa Senja yang begitu lepas. Senja yang telah bertumbuh dewasa.
“Sudah, jangan tertawa terus. Lanjutkan makannya!” Perintah Fajar. Cepat-cepat ia menghapus pikiran kacaunya tentang Senja.
“Jadi, semuanya berapa, bu?”
DEG!!! Sebuah suara lembut seorang wanita yang terdengar di telinga Senja membuat dadanya serasa sesak. “Uhuuuk..Uhuuuk…” Makin sakit, hingga rasanya ia merasa sulit bernafas.
“Senja!! Kamu nggak apa-apa?” Tanya Fajar panik seraya menyodorkan segelas air ke mulut Senja.
“Aku nggak apa-apa, Kak.” Jawab Senja dengan nafas terengah-engah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment