Minggu, 29 September 2013

EIRENE (JUST BELIEVE)

“Sudah selesai?” Sebuah suara lembut nan merdu menyegarkan telingaku. Aku menoleh ke sumber suara yang berasala dari seorang wanita berambut panjang yang berbalut dress berwarna putih dengan corak batik. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Aku tidak percaya Ananta sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tak ada lagi wajah pucat dengan tatapan kosong. Rambutnya yang panjang tergerai rapi.  “Apa pakaiannya aneh?” Tanya Ananta seraya melihat pakaian yang dikenakannya.
Aku menggeleng cepat, tak ingin melihat Ananta berpikir buruk sedikit pun. “Sama sekali tidak. Kamu sangat cantik hari ini.” Pujiku dan menghampirinya. Kecupan ringan mendarat di kepalanya.
“Baguslah. Aku takut Eirene tidak menyukai cara berpakaianku saat kami bertemu nanti.” Ucapnya seraya merapikan kerah kemejaku.
Hari ini kami memang akan mencari Eirene, kembali. Setelah beberapa waktu lalu aku berjanji pada Ananta akan mencari Eirene bersama-sama, akhirnya aku memiliki waktu luang untuk menepati janjiku pada Ananta.
Kami berangkat tepat pukul delapan pagi, saat Ananta memintaku untuk mengunjungi keadiaman kedua orang tuaku. “Apa perlu kita ke sana? Bukannya kamu mau kita mencari Eirene?”
Ananta tersenyum manis. “Aku mau minta restu sama mama dan papa, supaya kita bisa menemukan Eirene secepatnya.”
Aku tertegun sejenak. Mencerna baik-baik setiap kata dan keinginan baik yang Ananta tunjukan. Akan tetapi, mama dan papa tidak mungkin bisa menerima dengan baik keinginan Eirene. Bukan hanya Ananta yang dipikir gila, aku pun bisa dianggap gila oleh mama dan papa. Di sisi lain, aku tidak mungkin menolak permintaan Ananta, aku takut dirinya akan tersinggung dengan apa yang aku pikirkan. Pikiranku kini berkecamuk, kalaupun aku menolak permintaan Ananta, aku harus memiliki alasan yang masuk akal dan jangan sampai menyinggungnya.
“Aku akan bicara baik-baik pada mama. Kamu jangan khawatir.” Ujarnya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk lemas. Tak ada yang bisa aku lakukan, ketika Ananta sudah memiiki keyakinan seperti itu.
Rumah kedua orang tuaku berada tidak jauh dari kediaman kami. Kami hanya cukup menempuh waktu kurang dari sejam dengan syarat jalan yang sedang tidak dipadati kendaraan lain. Mobilku berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik dengan pintu gerbang cokelat yang menjulang tinggi. Seorang satpam berdiri di samping pagar saat mobilku masuk ke dalam halaman rumah klasik tersebut.
“Pagi, Den! Pagi, Non!” Sapa seorang wanita paruh baya saat aku dan Ananta keluar dari mobil.
“Pagi, Bi. Mama sama papa ada?” Tanya Ananta.
Nampaknya Bi ‘Nah –wanita paruh baya yang bertugas bersih-bersih di rumah oran tuaku- juga terkejut melihat keadaan Ananta. Aku bisa melihat pandangannya sekilas menatap ke arahku. “Ada, Non. Nyonya dan tuan ada di dalam.” Jawab Bi ‘Nah yang membantu membawa kantong plastic yang dipegang Ananta.
“Ananta?” Sapaan dari mulut mama terdengar agak ganjil. Mungkin sama terkejutnya dengan Bi ‘Nah dan juga aku.
“Pagi, Mam!” Ananta menghampiri tubuh mama yang berdiri agak kaku dan memeluknya. “Ini Ananta bawakan kue kesukaan mama.”Ujarnya lagi. “Pap, gimana kabarnya? Kakinya masih suka sakit?” Ananta mencium tangan papa.
Sepertinya tidak ada satu orang pun di rumah ini yang tidak terkejut dengan sikap Ananta yang baru, atau bisa disebut, kesembuhan Ananta. “Kabar papa baik. Kaki papa juga sudah agak baikan semenjak dikasih racikan obat dari kamu.” Ucap papa seraya memeluk tubuh Ananta. Aku agak sedikit merasa haru melihatnya. Ananta memang sudah dianggap anak oleh kedua orang tuaku.
Ananta dan mama berjalan ke dapur, sedangkan aku dan pap berbincang-bincang di ruang keluarga. “Apa tadi itu benar-benar Ananta?” Tanya papa yang sangat penasaran.
Aku mengangguk mantap. “Ya, itu Ananta, istri Ryo dan maminya Eirene.” Kataku yakin.
Aku melihat masih ada raut kebingungan di wajah papa, ia bahkan tak mampu berkata apapun lagi untuk menunjukan rasa senangnya. “Bagaimana bisa?”
Aku menelan ludahku. “Aku berjanji pada Ananta akan membantunya mencari Eirene.” Jawabku . Papa sepertinya makin terkejut dengan jawabanku, tapi aku sudah berjanji pada Ananta, terlebih pada diriku sendiri kalau aku akan mendukung keyakinan Ananta. “Kalau Ananta saja yakin, Pap, Ryo nggak punya alasan untuk tidak ikut memiliki keyakinan itu.” Aku menghela nafas sejenak, menunggu respon papa.
“Tapi, itu sudah lama, Yo. Polisi saja sudah tidak mampu menemukannya. Apa salahnya kalau kalian melupakannya. Cukup mendoakannya saja.”
Aku menggeleng perlahan.
“Ananta nggak mau kalau nanti Eirene berpikir ayah ibunya tidak mencarinya saat ia hilang dari kami, Pa.” Suara Ananta mengejutkan aku dan Papa. Di sebelahnya mama berdiri dengan senyum tulus. “Ananta bisa mengerti mama dan papa pasti sedih dengan berpikir keadaan Ananta yang seperti ini, tetapi Ananta berjanji akan membuktikan kalau ucapan dan keyakinan Ananta itu benar, Pa. Eirene masih hidup di luar sana.” Ujar Ananta begitu lantang. Aku bangkit dari sofa berwarna hitam dan merangkul Ananta.
“Kami masih dalam pencarian Eirene, Pap. Ryo dan Ananta hanya minta doa dari mama dan papa agar Eirene bisa cepat bertemu dan kita semua pasti bisa berkumpul kembali.
Langkah mama menghampiri papa. Aku bisa melihat senyuman dari bibir mama mengurangi keras kepala papa. “Aku mau melihat cucuku lagi, Dre. Ananta benar, kalau Ryo pun hilang dari kita tidak mungkin kita bisa melupakan Ryo begitu saja. Aku juga seorang ibu, Dre. Batin seorang ibu pada anaknya sangat kuat dan jika batin Ananta merasakan masih adanya kehidupan di diri Eirene, kita hanya bisa mendukungnya. Lewat doa, Dre. “ Ujar mama yang akhirnya mampu meyakinkan papa.
“Aku akan menunggu kehadiran Eirene.” Ucap papa yang membuatkami semua tersenyum. Pundak Ananta yang dari tadi menegang kini sudah mulai lemas. Aku rasa Ananta lebih banyak menanggung semua beban ini, daripada aku.

“Kamu berhasil, Hun!” Bisikku di telinganya dan Ananta tersenyum manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment