Jumat, 27 April 2012

My love is flying to the sky


"Hhh.." Aku menghela nafas panjang. Enam bulan telah berlalu, tapi aku juga tak mampu melupakannya. Entah apa yang membuat aku terikat dengan rasa ini. Rasa yang seharusnya aku hapus dan tak perlu lagi aku menyimpan semua kenangan ini.
Enam bulan lalu, hari dimana semuanya terasa mimpi bagiku. Mimpi buruk yang sama sekali tidak aku inginkan.
Entahlah, apa yang harus aku rasakan sampai saat ini. Kesedihan. Entah kesedihan karna kekecewaan ataukah kesedihan karna kehilangan akan dirinya.
“Hhh..” Lagi-lagi ku menghela nafas panjang. Ku pandangi langit yang sedang berpesta. Bintang-bintang berlomba memancarkan cahaya mereka. Ku palingkan pandanganku pada bulan. Sendiri dengan cahayanya.
Qiyo...
***
"Rasya, Qiyo dateng, tuh!" Panggil Kak Darren.
Hari ini memang aku akan jalan dengan Qiyo. Seorang cowok yang selama setahun ini setia menemaniku. Pacarku yang sangat sempurna. Kenapa sempurana? Karna dia punya segalanya yang disebut 'cowok idaman'. Tajir, keren, pinter, baik, dan yang terpenting gantengnya itu, lho. Haa! Gue adalah cewek beruntung yang bisa jadi ceweknya.
"Kak Darren, Rasya berangkat dulu, ya?!" Pamitku pada kak Darren. Kakak cowokku, yang juga kakakku satu-satunya.
"Hati-hati! Eh, pulang jam berapa?"
"Hmm ga tau, tapi nanti Rasya kabarin,kok." Kataku memutuskan untuk segera pergi agar tidak kena interogasi semakin parah dari kak Darren.
Qiyo telah menungguku di depan mobilnya. Kali ini dia mengendarai Ferari merah kesayangannya.
"Hai, beb! Udah lama?" Tanyaku berbasa-basi.
"Belum, kok. Tenang aja lagi." Katanya menanggapi dengan santai. Ia tersenyum seraya mengecup keningku. "Yuk, masuk!" Katanya lagi seraya membukakan pintu untukku.
"Kita mau kemana? Hmm aku mau nonton, beb. Lagi ada banyak film bagus." Kataku membuka pembicaraan sesaat ia melajukan mobilnya.
"Boleh. Memangnya ada film apa yang bagus?" Tanyanya.
"Breaking dawn!!" Seruku riang.
"Hahahah.." Tawanya, menanggapi permintaanku.
Qiyo begitu baik padaku, ia selalu menuruti apa yang aku minta. Hampir tak pernah kami berselisih. Ia sangat mengerti diriku, terlebih lagi ia selalu bersikap dewasa menanggapi sifatku yang manja.
"Bagus, kan, filmnya tadi?" Tanyaku seusai kami menonton.
Ia menganggukan kepalanya. "Bagus, kok. Beb sekarang mau ke mana?" Tanyanya seraya terus menggenggam tanganku.
"Beb-nya udah laper? Mending kita makan, yuk, udah malem." Usulku dan lagi-lagi dipatuhi Qiyo.
"Yuk, aku juga udah laper, tapi aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Nanti kita makan di sana." Katanya dan aku menyetujuinya dengan memeluk tubuhnya. "Aku sayang kamu." Ucapnya lembut dan membuatku tersenyum lebar.
"Aku juga sayang banget sama beb." Kataku.
Awalnya aku bingung, sebenernya Qiyo mau ngajak makan malam kemana. Berkali-kali pun aku tanya, ia selalu mengelak dan tidak mau memberi tau.
"Kita mau makan di mana, sih, beb?" Tanyaku untuk kesekian kalianya karna penasaran.
"Penasaran, ya?" Godanya membuat ku semakin gemas. "Sebentar lagi sampai, kok."
"Iih, kamu, aku nanya nggak dijawab." Rajukku pura-pura mengambek.
Qiyo yang tau sifat manjaku hanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku.
"Aku mau kasih kejutan buat kamu." Katanya seraya memamerkan senyumnya yang membuat hatiku luluh.
Sekitar 15 menit kami berkeliling kota jakarta, akhirnya Qiyo menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung. Bukan gedung, tapi terlihat seperti bekas gedung.
"Qiyo? Kok?" Tanyaku aneh. "Kamu nggak aneh-aneh, kan?" Tanyaku agak ragu melihat tempat yang dipilih Qiyo.
"Udah, jangan takut. Yuk, ikut aku!" Ajaknya sambil menggenggam erat tanganku.
Aku mengikuti langkah Qiyo. Jujur aku takut banget, secara tempatnya gelap dan gedung ini terlihat angker. Kami menaiki satu per satu anak tangga hingga Qiyo menghentikan langkahnya.
"Beb, kamu mau ke mana?" Tanyaku panik ketika ia melepaskan genggamannya. "Beb?" Panggilku sekali lagi.
Tep. Tiba-tiba ruangan menjadi terang. Sekelilingku bertaburan lampion berbentuk hati dan tak jauh dari tempat aku berdiri sebuah meja dengan sepasang kursi telah disiapkan dengan pernak-pernik indah yang menghiasinya.
"Kamu suka?" Tanya Qiyo yang ternyata sudah ada di sampingku lagi.
Aku memeluknya dengan erat. "Makasih, beb!" Seruku senang.
Qiyo mengiringku mendekati meja yang berbalut taplak berwarna pink dengan hidangan makan malam untuk kami.
"Beb, kapan kamu buat ini?" Tanyaku yang sekarang penasaran dengan idenya Qiyo.
"Ada deh, heheh.." Katanya lagi-lagi sok rahasia.
"Ihh, kamu tuh, dari tadi buat aku penasaran terus." Kataku dan kembali melanjutkan menyantap makananku. "Oh, iya, makasih, ya, Beb. Aku seneng banget, lho."
"Ini rasa terima kasih aku ke kamu. Nanti setelah makan aku mau tunjukin kamu satu hal lagi." Katanya.
"Oh, ya? Apa? Sekarang aja!" Pintaku setengah memaksa.
"Kejutan. Nanti juga kamu tau, kok."
"Aku udah selesai makan!" Kataku seraya meletakkan sendok dan garpu di sisi piring. "Sekarang apa kejutannya?" Kataku lagi memaksa.
Qiyo sempat terbengong melihat tingkah konyolku, tapi sesaat kemudian ia tertawa kecil. "Kamu ini."
Qiyo bangkit dari tempat duduknya dan mengajakku mendekati tepian gedung yang di beri pembatas cukup tinggi.
"Malam ini indah, kan? Bintangnya juga terang." Katanya seraya mengamati langit.
Aku yang bingung hanya ikut mengamati apa yang diamati oleh Qiyo. Beberapa detik kemudian aku menyerah. Tak ada yang kutemukan. Apa yang indah? Tanyaku dalam hati. "Beb, aku ga lihat apa-apa. Biasa aja, seperti malam-malam kemarin."
Ku lihat Qiyo tersenyum dan tangannya menekan sebuah tombol sehingga cahaya sekitar kami mulai redup.
"Liat, deh!" Tunjuk Qiyo.
Kini aku setuju dengan Qiyo kalau langit malam ini sangat indah. Cahaya yang dipancarkan bintang-bintang malam ini sangat terang. "Indah, Beb!"
"Kalau saja nggak banyak lampu yang menerangi dunia ini, kita bisa lebih jelas melihat terangnya bintang."
"Masa?" Tanyaku meledeknya. "Kamu suka bintang, beb?"
"Ya, almarhum kakek aku pernah bilang, mereka yang telah meninggal akan menjadi bintang." Katanya yang bicara semakin serius.
"Berarti mama udah jadi bintang?" Tanyaku.
Qiyo menoleh ke arahku. Pandangannya terlihat sendu. "Iya, mama kamu udah jadi bintang. Dia yang menerangi malam-malam kamu." Katanya seraya mengelus lembut kepalaku.
Aku tersenyum. Aku memang kehilangan kasih sayang mama sejak satu tahun lalu. Hidupku langsung berubah saat itu. Aku minder dan tak mau bergaul dengan siapa pun. Qiyo lah yang menemaniku selama ini.
"Mama jadi bintangku di langit, tapi aku juga punya bintang di dunia ini."
"Oh, ya? Siapa?"
"Qrisheyo Octavian." Kataku sambil tersenyum bangga dan menyebutkan nama lengkap qiyo dengan bangga.
Qiyo memelukku dengan erat. Aku tau ia sangat menyayangiku, sama seperti aku menyayanginya. Inilah yang membuatku tidak khawatir kalau dirinya akan berpaling pada wanita lain atau mengkhianati hubungan kami.
***
"Kak Darren, anterin aku daftar kuliah, yuk!" Pintaku pada Darren saat kami sarapan.
"Memangnya Qiyo ke mana?"
Aku menggedikan bahuku. Sudah seminggu ini Qiyo memang sangat sibuk. Sehari kami hanya bisa berbicara lewat telpon, itu pun hanya sekali dan kalau aku sedang beruntung. Kalau nggak, paling hanya bisa smsan.
"Lagi sibuk sama UAS." Jawabku sekenanya.
Ka Darren mengantarkanku ke sebuah universitas swasta di daerah Jakarta tanpa membantah, walaupun ia hanya bisa mengantarkanku dan menyuruhku pulang sendiri.
"Rasya!!" Seru seseorang ketika aku memasuki lobby kampus.
"Shanet?! Lu masuk sini juga?"
"Yoi.. yoi.. Bokap nyuruh gue masuk sini."
"Gue mau ke ruang administrasi, lu udah bayar?"
"Udah, sih. Yuk, kalau mau gue temenin!" Katanya menawarkan.
Universitas yang cukup padat. Kenapa aku bilang begitu? Karna mahasiswa di sini terlihat banyak tapi luas wilayahnya tidak terlalu besar.
"Sya, liat dhe, itu bukannya, kak Qiyo?" Tunjuk Shanet ke arah kantin.
"Iya, Qiyo!!" Pekikku senang. "Yuk, ke sana dulu!" Ajakku seraya menarik tangan Shanet.
Tapi, siapa yang ada di sampingnya? Kenapa Qiyo merangkulnya? Tanyaku dalam hati.  Mungkinkah Qiyo berselingkuh? Tebakku ragu.
Aku menghampiri Qiyo untuk meminta penjelasan darinya.
"Rasya? Kok kamu bisa ada di sini?" Tanyanya agak terkejut dan secepat kilat melepaskan tangannya dari pinggang si cewek yang duduk di sebelahnya.
"Aku abis daftar di sini. Kamu kenapa sama dia? Kok aku susah banget ngehubungin kamu?"
"Ya, iyalah, lu susah ngehubungin Qiyo, dia kan sama gue melulu. Trus, tadi lu bilang apa? Mau masuk sini? Ih, kalau gue jadi Qiyo, gue juga nggak betah diikutin sama anak SMA yang manja kayak lu!"
"Tania, STOP! Udah, diem! Jangan ngomong sekasar itu sama Rasya!" Bentak Qiyo.
"Qiyo! Mau sampai kapan lu pura-pura begini? Mau sampai kapan kita backstreet dari anak manja ini?!" Teriak cewek yang Qiyo panggil Tania.
"Tania, kita udah pernah membahas ini, kan?"
Aku mulai bosan dengan pertengkaran yang mereka buat dan aku dibuat sebagai penonton. Atau lebih tepatnya pecundang.
"Qiyo!" Seruku lebih kencang dari suara mereka berdua. "Qiyo, kenapa nggak jujur, sih?" Tanyaku masih tak menyangka dengan pengkhianatan yang dilakukan Qiyo.
"Mulai deh sok manja!" Cibir Tania.
"Kak Tania, tolong diem dulu. Aku cuma perlu ngomong sebentar dengan Qiyo. Setelah itu, aku jamin Qiyo akan jadi milik kak Tania sepenuhnya!" Ucapku tegas dan menarik Qiyo sedikit menjauh dari Tania.
"Sya, aku.. Aku tau aku salah dan aku nggak pantes lagi buat kamu."
Aku menepuk pundak Qiyo dan tersenyum. "Kamu nggak salah." Aku menghela nafas cukup panjang menahan rasa kesal dan kecewa yang saat ini memenuhi hatiku. "Aku memang cewek manja. Aku nggak tau harus gimana, aku cuma bisa bilang semoga kamu dan kak Tania bahagia."
"Sya... Kita bisa tetep temenan, kan? Aku cuma mau jaga kamu. Aku ngerasa nyaman sama kamu."
"Kalau kamu ngerasa nyaman sama aku, kamu nggak akan berpaling dari aku." Kataku dan aku berlalu darinya.
Kenyataannya merelakan seseorang yang kita sayang pergi dari hidup kita itu nggak gampang. Sekalipun orang itu telah menyakiti hati kita. Entah apa namanya ini, cinta sejatikah? Atau hanya cinta monyet yang terlalu berlebihan? Apapun itu sampai saat ini, aku duduk di semester II, aku masih tidak bisa melupakannya.
Pemandangan yang sangat membuat aku muak, ketika melihat Qiyo bermesraan dengan Tania. Yah, masa lalu.
Ku pandangi langit malam ini, ku lihat tak banyak bintang bertaburan. Cahayanya pun tidak terlalu terang. Pandanganku beralih ke benda angkasa lainnya. Berbentuk bulat, berwarna putih cerah.
Bintang yang tak mungkin ku gapai.
Bintang yang tak mungkin ku miliki.
Bintang yang tak mungkin ku raih.
Bintang yang hanya mampu ku impikan
Cahayamu tak seberapa, tapi ku tetap menjadi bayang-bayangmu
Bentuk aslimu tak seindahku, tapi mereka tetap mengejekku
Kau dengan teman-temanmu
Sedangkan aku sendiri.
Ketika kau pergi, aku tetaplah sendiri
Menerangi langit meskipun mereka tak menginginkan aku
Bulanmu.
Tanpa sadar ku untai kata demi kata menjadi sebuah puisi yang tercurah dari isi hatiku.
Drrrt drrrt... Ponselku bergetar. Di layar tertulis 'SHANET'.
"Halo!" Sapaku.
"Halo! Rasya, lu mesti cepet-cepet ke rumah sakit!" Perintah Shanet paniik.
"Ha? Kenapa? Siapa yang sakit?"
"Bukan, bukan sakit, tapi kak Qiyo. Kak Qiyo kecelakaan sama sepupu gue, Tania."
"Apa?!" Pekikku kaget. Bukan hanya terkejut karna Qiyo yang kecelakaan, tapi juga aku terkejut karna Tania adalah sepupu Shanet. Kenapa Shanet baru memberitahunya sekarang?
Tapi itu hanyalah masalah kecil, aku tak terlalu memperbesar masalah itu. Secepat kilat aku berangkat ke rumah sakit dimana Qiyo dirawat menggunakan taksi. Bahkan aku sampai tidak sempat berpamitan pada kak Darren.
"Shanet, Qiyo, gimana?" Serbuku ketika berhasil menemukan Shanet.
Shanet menunduk dan wajahnya terlihat sendu.
"Shanet! Jawab! Qiyo, gimana?!"
"Kak Qiyo.. Kak Qiyo.." Shanet terdiam sebentar. "Dokter udah berusaha semampu mereka, Sya. Tapi, kak Qiyo tetep nggak bisa ditolong. Kata dokter, terjadi pendarahan hebat di kepalanya."
Aku menangis histeris. Sempat aku lemas dan duduk di lantai. Semuanya terasa mimpi. Aku baru saja kehilangan cintaku, tapi ku tak menyangka kalau orang yang ku cinta juga harus pergi.
Aku tak kuat menghadiri pemakaman Qiyo, terlebih lagi aku tau kalau Tania datang dan ia masih bisa menjalani hidupnya. Sedangkan Qiyo harus pergi dengan sia-sia.
***
Malam ini, bintang pun masih bersinar terang. Satu bintang yang selalu bersinar terang setiap malamnya. Ku sebut, Qiyo.
Kau tetap bersinar..
Sinarmu tak pernah memudar
Sekalipun kau tak lagi bersamanya
Kau bercahaya sendiri
Menerangi dunia ini
Sedih masih ku rasakan
Perih masih kurasakan
Meski ku lihat dia tak lagi denganmu
Tapi..ku tau diriku pun tak bisa bersamamu
Ku hanya memandangmu
Memantulkan sinar yang kau berikan
Trima kasih karna cahayamu
Bintangku
Ku tersenyum memandangi langit. "Aku tau kamu sudah bahagia di sana, Qiyo. Aku pun merelakanmu. Merelakan kekecewaanku pergi dengan cinta tulusku" Kataku seraya menutup buku diary yang selama ini menjadi teman curhatku. Titik-titik air mata mulai jatuh dari pelupuk mataku. Aku memang telah merelakannya dan mungkin ini yang terbaik untuk kehidupanku dan Qiyo.

The End



Senin, 23 April 2012

look your talent


Ketika seseorang pernah disakiti apalagi pernah dibohongi. Kepercayaan yang ia miliki akan sedikit pudar. Percaya akan sebuah mimpi juga dapat memudar ketika orang itu tidak membuka pikirannya lebar-lebar. Ia hanya berpikir menurut cara pandangnya dan tak mau melihat sisi lain dari sebuah mimpi.
"Lagi apa, Yo?!" Tanya Tasya yang baru saja tiba di kelasnya.
"Lagi buat gambar. Minggu depan ada kontes gambar gitu. Eh, kalo gue nggak salah inget ada lomba menulis cerpennya juga, lho! Lu mau ikutan?" Ajak Yogi
Tasya diam sesaat,"nggak, ah. Buat apa? Cuma buang-buang waktu." Ucapnya meremehkan.
Mendengar kata-kata Tasya yang tidak mengenakan di telinganya, Yogi pun berhenti menggambar dan menatap Tasya dengan serius. "Nggak ada yang sia-sia kalo lu ngelakuin hal itu dengan sungguh-sungguh. Mestinya lu tuh bangga punya talenta yang nggak semua orang bisa lakuin."
"Oke! Nggak usah sewot gitu, bisa, kan ?! Gue bangga, tapi menurut gue segala sesuatu hal yang ada di dunia ini itu nggak pasti dan nggak salah dong kalau gue nggak mau terlalu menonjolkan talenta gue yang belum pasti ngebuat gue jadi sukses."
Yogi menghela nafas. "Terserah!" Katanya menyerah.
"Yes! Kalah lagi kan, lu!?" Ucap Tasya bangga. Memang bukan hal yang aneh melihat Tasya dan Yogi jika berdebat, meskipun perdebatan mereka lebih terlihat seperti pertengkaran, tapi jika salah satu dari mereka mengalah, perdebatan pun akan berakhir. Sayangnya tak jarang, Yogilah yang mengalah.
"Gue bukannya kalah, tapi mengalah." Ucap Yogi yang tak senang seperti dianggap pecundang.
Tasya menggedikan bahunya. "Udah, ah. Sini ada yang bisa gue bantu nggak ? Begini-begini arsiran gue masih bagus." Katanya tetap dengan gayanya yang sedikit angkuh.
"Nggak perlu, tapi makasih. Gue mau coba kemampuan gue, tanpa bantuan orang lain." Tolak Yogi secara halus dan masih menggoreskan pensil di kertas gambarnya. "Lu jadi ikut snmptn? Ambil jurusan apa?" Tanya Yogi lagi disela-sela pekerjaannya.
"Jadi, ya, seperti yang bokap gue inginkan, kedokteran." Jawab Tasya singkat.
Yogi mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus, dong. Sesuai sama keinginan lu."
"Yogi, lu tau kan keinganan gue apa? Udah deh, jangan bahas kuliah. Itu tuh cuma mimpi!"
Yogi pun menurut, ia diam dan tetap mengerjakan pekerjaannya. Tasya pun ikut diam, memperhatikan apa yang dikerjakan Yogi, sahabatnya. Terbesit di hatinya untuk mempercayai kata-kata Yogi. Kata-kata yang seakan-akan menyuruhnya untuk mempercayai sebuah mimpi. Sedetik kemudian ia hapus cepat-cepat pemikirannya.
***
Cepat sekali waktu berganti, malam kembali hadir. Seperti biasanya, Tasya sibuk mengerjakan soal-soal latihan yang sudah disediakan oleh guru lesnya. Ayahnya memang mendidiknya dengan sangat keras, Tasya dididik dari kecil untuk dapat berpikir dengan cerdas. Tasya terbiasa untuk tidak mengikuti keinginan dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia tidak menekuni bakat yang ia miliki. Menulis. Ia akan memulai menulis jika ia sudah sangat lelah berfikir.
Tok…tok..tok… “Sya, lagi sibuk?” Tanya mamanya yang langsung masuk ke kamarnya sesaat setelah mengetuk pintu.
“Seperti biasa, Ma.” Jawab Tasya singkat. “Kak Dylan kapan pulang, Ma?”
“Belum ada kabar dari kakak kamu. Mungkin ia masih sibuk dengan kuliahnya di Inggris.” Jawab mamanya singkat. “Kamu yakin mau masuk kedokteran, Sya?” Tanya sang mama agak khawatir.
Tasya berhenti mengerjakan soal-soalnya. “Kok tumben mama tanya begitu? Tentu saja Tasya yakin.”
“Bukan begitu, Nak. Maksud mama, apa hati kamu benar-benar ingin memasuki dunia kedokteran? Mama dengar kamu pintar sekali menulis, bagaimana menurutmu dengan dunia sastra?”
Tasya semakin bingung, ia pun menghampiri mamanya dan duduk di sebelah mamanya. “Ma, mama tau, kan, Tasya itu nggak bisa memilih? Sama dengan Kak Dylan, Ma. Ka Dylan juga nggak bisa memilih saat diminta papa untuk melanjutkan sekolah artsiteknya di Inggris."
"Kakakmu tidak terpaksa, Nak. Kak Dylan memang sangat menyukai dunia arsitek. Mama hanya mau kamu juga bisa melakukan hal yang menurutmu baik. Mama nggak mau kamu selalu hidup dibawah tekanan dan paksaan dari orang lain."
Tasya memandang mamanya dengan haru dan kemudian memeluknya. "Tasya hanya ingin membuat mama dan papa bangga."
Tasya terdiam. Ia bingung harus berbuat apa. Apakah membuat mama dan papa bangga bukanlah sebuah impian? Apa artinya impian itu? Batin Tasya bertanya-tanya.
***
"Yogi, gue bingung deh sama yang namanya impian. Impian itu bukannya hal yang membuat orang senang, ya?" Curhat Tasya saat tiba di kelas. Sayang, yogi masih tetap sibuk dengan headphone yang menggantung di telinganya. "Menurut lu impian tuh apa, Yo?" Tanya Tasya yang akhirnya menyadari kalau dari tadi Yogi tidak mendengarkannya. Kesal tak dipedulikan, Tasya mencopot paksa Headshet yang menggantung di telinga Yogi.
"Tasya! Ngapain sih lu?!" Omel Yogi yang merasa kesenangannya terganggu.
"Lu tuh yang ngapain?! Dari tadi gue ngomong sama lu, tapi lu cuekin, tau, nggak ?"
Yogi kembali mengalah. Ia mengambil paksa headshetnya yang dipegang Tasya. "Ada apaan lagi, sih?!" Terdengar dari nada suaranya, ia masih kesal atas sikap Tasya.
"Nih, dengerin, ya. Nyokap semalem ngomong ke gue. Gue tuh seharusnya melakukan hal yang gue inginkan, hal yang gue impikan. Nyokap ngerasa gue tuh maunya masuk sastra. Menekuni bakat gue dalam menulis. Nyokap ngerasa impian gue itu ada di dunia menulis. Nyokap tuh.."
"Tasya, lu tuh udah gede. Udah umur 17 tahun. Cewek terpinter di angkatan kita. Bisa nggak sih lu tuh punya pendirian?" Potong Yogi.
"Maksudnya?" Tanya Tasya bingung.
"Sadar nggak, sih? Selama ini lu hanya mengikuti keinginan nyokap bokap lu? Lu tuh nggak pernah mau menggunakan cara pikir lu sendiri. Lu tuh nggak percaya dengan diri lu sendiri."
Tasya nampak berpikir. "Bener, sih, Yo. Tapi apa salah, gue mau menyenangkan orang tua gue? Itu juga impian, kan?"
"Tasya, setiap anak pasti ingin membanggakan orang tuanya. Banyak cara kok untuk membanggakan orang tua. Lu tau? Gue disuruh masuk jurusan hukum saat kuliah nanti sama bokap. Dia udah nentuin dimana gue harus kuliah."
"Serius lu, Yo?!! Bukannya lu suka gambar?? Trus impian lu buat jadi komikus gimana ?"
Yogi menjentikan tangannya di depan wajah Tasya. "Nah! Ya, sama kayak lu gue juga mau banggain ortu gue. Gue ngikutin kemauan ortu gue, dan gue tetep mengejar impian gue menjadi komikus. Nggak ada yang salah, kan, seorang pengacara menyukai gambar? Lagi pula bakat gue juga bisa membantu pekerjaan gue." Jelas Yogi panjang lebar. Tasya nampak memperhatikan Yogi dengan seksama. "Intinya, Sya. Impian itu adalah hal yang akan lu raih meskipun banyak hambatannya. Hal yang nggak hanya membuat orang lain senang, tapi kita yang menjalaninya juga senang."
Tasya mengangguk-anggukan kepalanya. "Hmm ngerti deh gue sekarang. Jadi, gue sebenernya tetep bisa jadi penulis?"
"Yes, Of course!" Jawab Yogi yakin.
"Btw, lu tadi lagi dengerin apa, sih Yo? Kok asik bener kayaknya."
"Gue lagi dengerin dentuman drumnya Echa Soemantri. Keren lho, permainanya."
"Apa istimewanya?"
"Eeh, dia hebat, lho. Drummer sejati. Nggak pernah ngeluh, dan selalu menanggapi masalah dengan sabar. Satu lagi, dia rendah hati. Dia nggak hanya nge-drum untuk pekerjaan, tapi untuk kesenangan, dan pelayanannya. Dia juga kuliah. Now, how proud his parents about him! A best drumer!" Kata Yogi bangga.
Tasya diam, termenung. Ia tak lagi mendengar celotehan Yogi tentang idolanya. Terbesit dihatinya, rasa bangga akan Yogi. Karna cowok yang satu ini, ia mengerti tentang sebuah mimpi. Sekarang, ia tahu bagaimana meraih impiannya. Trima kasih, Yogi. Batinnya bangga dan senyumnya pun mengenmbang seraya kembali mendengar celotehan Yogi.

Jumat, 13 April 2012

Maaf, aku sibuk!

"Surat apa ini?!" Tanya Setio yang terdengar seperti teriakan pada Dirgan, anaknya. Kertas yang sedari tadi berada ditangannya, dihempaskannya ke atas meja. "Kamu ini, mau sampai kapan kamu bertingkah seperti ini terus?" Dirgan tetap menutup mulutnya. Ujung bibirnya masih terasa perih karna perkelahiannya dengan Dewa musuh bebuyutannya tadi siang.
Setio melepas kacamatanya dan duduk di kursi kerjanya. Terdengar hembusan nafas dari hidungnya. "Papa sedang sibuk. Kamu urus saja masalah ini sendiri."Putusnya dan Dirgan tak perlu diminta untuk pergi dari ruangannya itu.
Dirgan membanting sekeras mungkin pintu kamarnya. Ia tidak peduli apakah pintu itu akan rusak dan ia harus dimarahi oleh ayahnya. "Sial!" Umpatnya. Setidaknya ia bersyukur karna besok ia tak perlu susa-susah untuk bangun pagi dan pergi ke sekolah.
Sekolahnya meminta orang tuanya untuk datang ke sekolah, sekedar memberikan penyuluhan, akan tetapi jika tidak bisa dipenuhi, dirinya harus menjalani skors selama satu minggu.
Dirgan tidak peduli dengan kehidupannya. Tidak dengan ayahnya. Tidak juga dengan teman-teman sekolahnya. Apalagi dengan sahabat-sahabatnya yang ia tahu mereka mendekati dirinya karana uang yang bisa ia keluarkan dengan mudah hanya untuk clubbing ataupun makan di restoran elit.
"Ampas!" Umpat Dirgan lagi. Ia mengambil netbooknya dan mulai mengkoneksikannya dengan internet.
Tuiiiing... Alarm di netbooknya berbunyi. Ada satu teman chatting yang mengajaknya ngobrol ternyata.
Daendalion?Batinnya dalam hati. Ia tak mengenal satu temannya ini dan memutuskan untuk tidak memperdulikannya. Namun, beberapa saat kemudian alarmnya berbunyi lagi dan ia melihat nama daendalion berwarna merah.


PLANE:
Hi, ever meet before?"

Sedetik kemudian...
DAENDALION:
No, but i know u.
Dirgan hampir mati kesal karna teman chattingnya yang aneh ini. Ia berniat mematikan internetnya, tapi sebuah pesan muncul di layar komputernya.
DAENDALION:
Please, i want to help you. Don't turn off your connection. You can tell me i f you need someone to hear you
Dirgan memang belum percaya seratus persen dengan orang yang sedang berniat membantunya sekarang, tapi tak ada salahnya jika cerita.Pikirnya dalam hati. Terbesit beberapa pertanyaan untuk teman barunya itu.
PLANE:
Where you know me? Do you one of my school friends?
DAENDALION:
hmm.. i cann't talk to you. sorry..
PLANE:
Why? Are you pranking me?
DAENDALION:
No.. i'm really not. i just want to be I just want to be where you talk without you know who I am.
Dirgan terdiam sesaat dan melontarkan beberapa pertanyaan melalui tulisannya. Tak perlu menunggu waktu yang lama Dirgan bisa dengan akrabnya bercerita dengan teman barunya. Ia menceritakan banyak hal tentang kehidupannya. Ia bahkan tak malu menceritakan kenakalannya di sekolah dan yang membuat dirinya semangat bercerita, teman barunya itu sangat antusias menanggapi cerita yang dilontarkan Dirgan. Tak urung juga beberapa nasihat diberikan untuk dirinya dan entah kenapa Dirgan benar-benar menuruti perkataan teman barunya itu.
Waktu yang semakin larut pun tidak membuat Dirgan berhenti menatap layar netbook-nya. Sampai di sebuah pembicaraan Dirgan mulai merasa teman bicara ingin berbicara serius.
DAENDALION:
How's your feel with your father?
PLANE:
I hate him. He never having time for his family. he always said 'maaf aku sibuk'. i hate him!
DAENDALION:
Forget him. he definitely very sad see you like this
PLANE:
I don't know. maybe if tomorrow he is took the time to me, I can forgive him HAHAHA
Tak lama pembicaraan mereka pun terputus karna Daendalion tidak membalas pembicaraan Dirgan. Dirgan pun memutuskan untuk beranjak tidur meskipun seharusnya ia tak perlu memusingkan waktu tidurnya karna selama seminggu ke depan ia akan libur. Diliburkan lebih tepatnya Batinnya meratapi nasibnya.
Pagi hari yang cerah dan sangat pas untuk Dirgan tetap terlelap dibalik selimutnya yang hangat. Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. Papanya yang semalam bersikeras untuk mempedulikan anaknya malah membangunkan Dirgan untuk berangkat ke sekolah. Bukan hanya itu yang membuat Dirgan ternganga heran, Papanya juga mau menemui wali kelasnya di sekolah.
"Tapi, anak saya tidak salah, Pak! Anak laki-laki itu yag jelas-jelas menyerempetkan mobilnya pada mobil anak saya." Bela sang papa untuk Dirgan. Dirgan yang dibela mentah-mentah oleh papanya hanya terduduk heran. Ia masih tak habis pikir, obat apa yang diminum papanya hingga mau repot-repot membangunkannya ke sekolah dan membela dirinya di depan wali kelasnya.
"Tetap saja, Pak. Ini sudah kebijakan dari sekolah. Anak bapak tetap di skors selama 3 hari, sedangkan Dewa yang tidak bisa membawa orang tuanya akan di skors selama satu minggu."
Ujar Pak Dwi.
Dirgan pun keluar ruangan bersama sang papa dan Dewa.
"Oh, ya, Dirgan. Ikut papa sebentar." Setio membawa anaknya ke dalam mobil dan melajukan mobilnya keluar sekolahan.
"Pa, Dirgan minta maaf." Ucap Dirgan akhirnya.
Setio hanya menoleh sepintas dan meninju bahu anaknya pelan. "Ternyata Dirgan si jagoan sekolah bisa minta maaf juga." Ucap Setio seraya tertawa kecil.
Dirgan yang masih bingung dengan sifat papanya yang berubah 180 derajat dalam semalam hanya tersenyum simpul.
Tak beberapa lama suara ponsel Setio membahana di dalam mobil, memecah keheningan. 
"Halo..oh, ya.. hari ini saya tidak ke kantor. Tolong batalkan semua janji-janji saya dan pindahkan pada hari lain."
Dirgan yang kaget dengan perintah yang terlontar dari mulut Setio sempat melotot pada papanya.
"iya, maaf, aku sibuk..." Setio menatap putra semata wayang sekilas dan tersenyum. "aku sedang sibuk dengan anakku." Dan Setio memutuskan sambungan dengan sekretarisnya.
"Papa?"
"Kenapa? Ada yang salah? Hahaha.. Sudahlah, seharian ini kita mau ke mana?"
"Seharian?" Tanya Dirgan.
"Jika hari ini papa mengajakmu ke suatu tempat, kamu akan memaafkan papa bukan?" Tanya Setio dengan misterius.

Apa dong?


"Sabar." Jawabnya.

"sekarang kita dimana?" Tanyaku dengan tangan menjulur ke depan.
"Tenang saja. Aku mau memberimu kejutan." Kata Alex yang terus menutup mataku dengan kedua telapak tangannya.
http://imageshack.us/photo/my-images/502/bungajq1.jpg/
Hari ini kami genap satu tahun jadian dan Alex mempunyai rencana yang tidak aku ketahui. Pagi-pagi seklai ia sudah menjemputku dan mengantarku ke kampus. Tidak hanya itu, ia menungguku hingga kelasku selesai.
"Kamu nggak kuliah?" Tanyaku saat mendapati dirinya sedang berdiri bersandar pada jazznya.
Ia menggelengkan kepalanya. "Hari ini aku libur." Jawabnya singkat dan ia mengajakku ke tempat ini.
Tempat yang tidak aku tahu dimana letaknya karna sejak dari kampus mataku tertutup oleh saputangan milik Alex.
Alex yang aku kenal selama ini memang tidak begitu romantis. Hanya pada hari-hari tertentu ia akan melakukan hal-hal yang menurutku aneh , tapi terlihat 'so sweet'. Tidak heran kalau hari ini ia menyiapkan sesuatu yang spesial untukku.
"Kenapa jauh banget, sih?" Keluhku kesal. Udara yang ku hirup sangat sejuk, apa dia membawaku ke puncak? Batinku menebak.
"Lex.. kepalaku mulai pusing." Kataku yang berpura-pura sakit. Alex tau aku mudah tepar karna sakit dan ia pasti akan langsung panik jika ku bilang kepalaku pusing. Biasanya sih, seperti itu.
"Tweeny.. Kamu mau di hari spesial kita, aku bawa kamu ke rumah sakit dan meminta dokter untuk membiarkan kamu dirawat di rumah sakit?" Katanya terdengar seperti ancaman dan dirinya tau aku berbohong.
"Aleexx.."Rengekku.
Tak berapa lama langkah Alex terhenti. "Sudah sampai." Katanya. "Kamu siap?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan. Jujur saja aku sudah merasa jengah dan bosan karna dibawa oleh Alex dengan mata tertutup. Aku benar-benar merasa mual.
Alex mulai menjauhkan tangannya dari mataku. Aku membuka kedua mataku perlahan, membiarkan kedua bola mataku beradaptasi dengan cahaya yang masuk. Pandangan yang awalnya buram, mulai terlihat jelas di mataku. "Alex!!" Pekikku melihat kejuatan yang disiapkan Alex.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling tempat kami berdiri. Bagaimana Alex bisa menemukan tempat ini? Padang rumput yang sempurna. Sangat sempurna dengan bunga-bunga bakung yang tumbuh dengan warna-warna yang cantik. Tidak hanya itu, ada seekor kuda. Bukan seekor melainkan ada dua ekor. Satu lagi yang membuatku terus berdecak kagum. Sebuah rumah panggung yang berukuran tidak terlalu besar, tapi atapnya sangat menarik buatku. Di sana tertulis dengan papan 'TWEENY&ALEX'S HOUSE'.
"Bagaimana kalau..."
"Aku mau masuk ke rumah itu!" Seruku sebelum Alex menyelesaikan kalimatnya. Ia tersenyum manis dan mempersilakan diriku untuk berjalan terlebih dahulu.
Aku menaiki beberapa anak tangga sampai aku tiba di depan pintu rumah panggung milik aku dan Alex.
"Kenapa tidak dibuka?" Tanya Alex karna melihatku hanya berdiam diri di depan pintu.
"Aku.. hmm Kapan kamu buat ini semua? Bagaimana kamu bisa menemukan tempat sebagus ini? Bagaimana kamu bisa menyembunyikan ini semua dari aku?" Tanyaku akhirnya.
"Bukan aku, tapi kamu. Aku membuat ini semua karna kamu. Aku menemukan ini karna kamu dan aku menyembunyikan ini karna kamu. Karna kamu terus membuat aku jatuh cinta sama kamu." Ucapnya gombal namun tetap terdengar manis di telingaku.
"Kalau kamu memberikan ini semua padaku, jadi, apa dong yang bisa aku lakukan buat kamu?" Tanyaku yang benar-benar merasa minder pada dirinya.
"Sudahlah, masuk dulu. Kamu belum lihat kejutan yang lainnya, kan?"
Aku membuka perlahan pintu yang kupandangi cukup lama. Benar saja, Alex masih menyiapkan kejutan buat aku. Tidak ada barang elektronik mahal, tidak ada furniture yang mahal, tapi pernak-pernik di dalam rumah sangat membuatku ternganga. Alex benar-benar membuat rumah ini seperti rumah kami berdua. Foto-foto kami berdua terpajang cantik di dinding dan meja dengan pigura bercorak. Sebuah meja makan dan sepasang kursi kayu juga telah bertengger di pojok ruangan dengan hidangan yang siap disantap oleh kami berdua.
"Alex!" Ucapku seraya memeluk tubuhnya yang atletis. Aku memang tidak tau lagi apa yang harus aku katakan untuk berterima kasih pada dirinya.
"Kamu nangis?" Tanya Alex yang melihat airmata keluar dari ujung mataku.
Aku menggeleng cepat dan tersenyum padanya. "Aku hanya belum pernah diperlakukan seperti ini."
Alex mengusap lembut rambutku. "Jadi, apa dong balasan untukku?" Tanya Alex yang sedikit membuatku terkejut. Alex benar aku harus membalas semua ini, tapi bagaimana? Aku tidak sekaya Alex.
"Aku..."
"Hahahaha..." Tiba-tiba tawa Alex pecah dan aku makin bingung menjawab pertanyaan Alex. "Tweeny...Tweeny.. Kamu itu masih sama seperti setahun lalu, ya? Polos dan lucu." Katanya disela-sela tawanya. "Aku tidak memintamu membalas semua yang aku lakukan dengan uang atau semacamnya. Aku hanya ingin kamu tetap di sini." Katanya seraya menunjuk dadanya. "Kamu tetap ada di hati dan sisiku. Itu saja sudah lebih dari cukup untukku. Tetap tersenyum untukku. Tetap membangunkan aku di pagi hari melalui telpon dan tetap mengucapkan selamat beristirahat di malam hari." Ucapnya manis.
Aku kembali memeluknya dengan erat.