Rabu, 02 Mei 2012

love is never blind


Pagi kembali datang dengan udaranya yang sejuk dan sedikit panasnya matahari yang tak begitu menyengat. Ku pikir pagi hari ini pasti sangat cerah. Nyanyian burung-burung tak henti-hentinya ku dengar. Aku melangkah perlahan keluar rumah, merasakan pancaran matahri dengan udara yang sejuk.
Srek..srek.. Ku dengar suara yang mulai terbiasa aku terdengar di telingaku. Suara sebuah sapu yang sedang dipakai untuk membersihkan halaman. "Pagi, pak Tio!" Sapaku sambil tersenyum.
"Pagi, non. Mau ke mana pagi-pagi begini sudah keluar ?" Tanya ramah.
"Jalan-jalan aja,Pak. Abis saya bosan di dalam kamar terus." Jawabku dan kembali melangkah perlahan.
Keluar dari pagar rumah, aku mulai memakai tongkatku untuk menuntunku berjalan. Tongkat yang baru saja menjadi teman setiaku dan kepada tongkat inilah aku bergantung.
Tiiiiiiiin...tiiiiinnnn....... Suara klakson mobil tiba-tiba mengagetkanku dan membuatku menghentikan langkahku. Aku tidak tau harus berjalan kemana,  dan aku hanya berbalik menghadap sumber suara itu.
"Eh, lo mau cari mati, ya?!!" Omelnya.
"Maaf, Kang.. Silahkan jalan ." Kataku yang diselimuti rasa takut.
Aku bisa merasa ada sebuah benda yang dikibaskan di depan wajahku dan pastinya sekarang ia sudah tau kalau aku tidak bisa melihat. Aku tersenyum seraya berkata, "saya memang tidak bisa melihat, Kang." Kataku jujur.
" Ck, udah tau nggak bisa lihat, malah jalan sendirian."
"Saya nggak mau nyusahin orang rumah, Kang."
"Orang rumah lu emang nggak lu buat susah, tapi kalo lu kenapa-kenapa gue yang jadi susah." Omelnya lagi seperti tak puas.
"Iya, kang, sekali lagi saya minta maaf." Ucap ku dengan penuh rasa bersalah.
"Haaa.." Keluhnya kesal dan sesaat kemudian orang itu pergi dengan mobilnya.
Aku pun kembali berjalan perlahan. Jujur saja sekarang aku tidak tau sedang melangkah ke arah mana.
"Vetra!!!" Panggil seseorang yang sangat ku kenal suaranya. "Vetra, kamu kemana aja, sih? Kok kamu jalan sendirian? Kamu kan masih perlu istirahat." Omel bunda sambil memelukku.
"Vetra bosen, Bun. Seharin di kamar terus, tidur, makan, tidur, makan." Keluhku.
Bunda mengelus lembut kepalaku, "maaf ya, nak. Gara-gara bunda tidak bisa menjadi ibu yang baik buat kamu, kamu jadi kayak gini. Bunda benar-benar menyesal Ve." Ucap bunda tulus.
Aku meraba wajah bunda. "Bunda nangis? Bunda, jangan nangis. Ini bukan salah bunda. Ini salah Ve yang nggak bisa jaga diri." Kataku dan bunda memelukku dengan hangat. Kami pun berjalan pulang. Bunda menuntunku dan membuatku semakin mudah melangkah.
"Oh, ya, Ve. Bunda punya kabar kurang baik,Nak. Rencana pertunanganmu sepertinya akan diundur."
Aku menghentikan langkahku sejenak, kabar ini bukan hanya kurang baik melainkan sangat tidak baik. Calon tunanganku yang belum pernah aku lihat, sepertinya juga tak mau bersandingan denganku. "Gpp kok, bun. Aku bisa ngerti ." Kataku menenangkan bunda dengan senyum yang dipaksakan.
***
Ayahku bisa dikatakan orang yang cukup mapan. Beliau bekerja sebagai manager si debuah perusahaan minuman dan memiliki perkebunan blueberry. Sayangnya, karna alasan kesibukan aku tak pernah sempat mengunjungi perkebunan ini.
Samar-sama ku mendengar sebuah percakapan yang dilakukan dua pria. Aku melangkah perlahan menghampiri sumber suara itu.
"Luas, ya, perkebunan di sini?!" Suara seorang pria terdengar jelas di telingaku.
"Ya, tapi sayang ahli warisnya mungkin tidak akan bisa mengelola perkebunan seluas ini dengan baik." Kata pria lain menanggapi kekaguman si pria yang pertama.
"Bukankah, kamu yang akan menjadi ahli warisnya?"
"Hahahh entahlah, gue nggak mau cuma karna kekayaan, gue disuruh ngurusin orang cacat."
Jleb. Siapa sih orang ini berani-beraninya ngomong kayak gitu. Aku memang cacat, penglihatan aku hilang, tapi bisa kan dia lebih menghargai aku sedikit. Aku melangkah dengan gusar menjauh dari dua orang pria lancang tersebut.
"Hei!!  Kamu!!" Seru seseorang dan gue tetap melangkah dengan agak cepat.
"Hei, cewek buta!!" Seru pria itu lagi dan aku sangat yakin dia pasti memanggilku. Aku menghentikan langkahku dan membiarkannya menghampiri diriku. "Heh! Ngapain lu di sini? Ngikutin gue ya?!" Tuduhnya seenaknya. "Jangan-jangan lu butanya juga bohongan, ya!?" Katanya lagi dengan kata-kata yang tidak mengenakkan.
"Maaf, Kang. Saya pikir tidak ada satu orang pun ingin matanya buta. Begitu juga dengan diri saya, jika saya bisa menolak, saya pasti akan menolak untuk kehilangan penglihatan saya. Jadi, saya minta akang bisa jaga cara bicara akang. " Kataku menahan emosi. Aku membalikkan badan dan melangkah perlahan menjauh dari pria sombong itu.
"Hei!! Gue belum selesai ngomong!!" Teriaknya dan menarik lenganku hingga tongkat yang ku pegang terlepas dari tanganku. "Sorry." Katanya yang tiba-tiba memperlakukanku dengan baik. Ia juga mengambilkan tongkat ku dan memberikannya padaku. "Lu kok bisa ada di sini? Bukannya nggak boleh sembarangan orang yang masuk sini, ya?"
"Kenapa saya nggak boleh ke sini. Ini kan perkebunan..." Ku urungkan niatku untuk jujur padanya. Entah mengapa aku merasa pria ini adalah pria yang sama dengan pria yang menolak bertunangan denganku.
"Ini perkebunan siapa? Bukankah ini perkebunan Pak Setiawan?"
"Ya, memang ini perkebunan Pak Setiawan."
"Lalu kenapa lu bisa ke sini? Lu siapa nya Pak Setiawan?"
"Saya.. Hmm.. Saya itu, anak dari petani yang bekerja di perkebunan ini. Tentu saja saya bisa masuk ke dalam perkebunan ini."
"Ouum.. Nyokap bokap lu yang mana orangnya? Lo pasti lagi cari mereka, kan? Yuk, gue bantuin cari." Katanya menawarkan, seraya menuntun aku.
Namun, gue menepis tangannya dengan cepat."Eh, saya nggak mencari orang tua saya, Kang. Tapi makasih udah mau bantuin saya." Kataku sopan.
"Lho, trus lu ngapain di sini?"
"Saya hanya ingin merasakan sejuknya udara di perkebunan ini."
"Hmm memang udara di sini sejuk banget, gue juga suka di sini. Lo pasti sering banget ya ke sini ?"
"Hmm mungkin nggak sesering yang akang pikir." Jawabku sekenanya. "Akang suka blueberry?"
"Nggak begitu. Gue kan jarang banget makan nih buah."
"Hmm tapi. Nantinya akang harus sering-sering makan buah ini, supaya akang tau mana buah blueberry yang berkualitas mana yang nggak."
"Hahha memangnya gue nih siapa, berhak mutusin berkualitas apa nggaknya buah di perkebunan ini?" Katanya .
"Lho, bukannya akang ini menantu Pak Setiawan ?" Pancing ku agak penasaran.
Hening seketika. Tak ada jawaban dari pria itu.Aku pun sedikit bingung, lebih-lebih aku tak bisa melihat apa yang dia lakukan. "Kang?" Panggilku memastikan apa dia masih ada di dekat ku atau sudah pergi.
"Ya? Hmm entahlah, gue denger anaknya Pak Setiawan kecelakaan dan keadaannya buruk. Mungkin lumpuh. Tapi gue sih belum tau persis gimana keadaannya." Katanya menjelaskan "awalnya, kita memang dijodohin dan gue pun terpaksa menyetujui perjodohan ini. Jujur aja bukan karna kekayaan yang dimiliki tuh cewek gue jadi berubah setuju, tapi karna gue anak tunggal dan nggak mau ngecewain ortu gue. Sekarang, setelah gue denger kejadian kalau tuh cewek kecelakaan dan mengakibatkan kecacatan, gue rasa ortu juga nggak bakal tega maksa gue lagi."
Gue terhenyak kaget mendengar penuturannya. Apa ini semua berarti aku nggak pantes buat mendapatkan pasangan?
"Eh, sorry, kok gue jadi curhat, sih? Hahah lo kenal anaknya Pak Setiawan ?"
Aku mengangguk pelan.
"Oh, ya? Gimana keadaan dia sekarang? Apa dia lumpuh?"
Aku menggeleng. "Dia tidak lumpuh. Dia sehat. Hanya saja dia tidak bisa melihat."
"Oh, ya?! Kasihan dia."
"Ya, kasihan. Apalagi dia harus kehilangan calon tunangannya. Pasti dia sangat kecewa dengan keadaannya sekarang. Padahal pastinya dia nggak mau kejadian ini menimpanya."
"Ya, memang, tapi bukan salah gue. Kan hak gue untuk menentukan kehidupan gue selanjutnya." Katanya tak mau kalah.
Aku tersenyum. "Termasuk mengecewakan seseorang. Saya mau tanya, apa yang akang lakukan kalau hal yang terjadi dengan anaknya Pak setiawan terjadi pada akang?"
Lagi-lagi suasana hening. Ia tak menjawab apapun. "Maaf, mungkin saya terlalu lancang, tapi cobalah untuk berpikir sejenak. Saya tidak memaksa akang untuk menikahinya, tapi temuilah dia terlebih dahulu. Bicarakan dengannya jika akang menolak perjodohan ini. Saya yakin ia pasti akan mengerti."
Hening sejenak sampai-sampai aku bisa mendengar dengusan nafasnya. "Ya, mungkin lebih baik seperti itu." Katanya pelan. "Gue suka cara pikir lu, sekarang lu mau ke mana ? Mau gue anter?"
Aku tersenyum.
"Neng Vetra!!" Seru seseorang dan aku menoleh ke arah sumber suara itu. "Neng, ayo pulang, sudah sore. Nyonya juga nyariin eneng terus."
"Vetra? Bukannya Vetra nama anaknya Pak Setiawan yang kecelakaan itu?" Tanyanya agak terkejut.
Aku tersenyum. "Terima kasih untuk pengakuan akang. Saya senang ketemu akang." Kataku dan berlalu pergi dituntun oleh Bi 'Nah.
***
Tok tok tok.. "Vetra?" Panggil bunda di balik pintu kamar ku yang sengaja ku kunci.
"Iya, Bun." Sahutku seraya melangkah ke arah pintu kamar.
"Vetra anak bunda!! Kamu beruntung, Nak!!" Seru Bunda seraya memeluk tubuhku dengan erat.
"Ada apa, Bun ?" Tanyaku terkejut.
"Sayang, kamu dapet donor mata, Nak! Beruntung sekali, kamu bisa secepat ini mendapat pendonor."
Aku tersenyum senang dan air mataku mengalir haru. "Siapa Bun orang yang mulia hatinya itu?" Tanyaku penasaran.
"Bunda juga tidak tau, Ve. Orang itu baik sekali, ia mendonorkan matanya tanpa ingin diketahui jati dirinya. Tapi, Ve, lebih baik sekarang bunda bantu kamu mengemasi barang-barangmu dan kita akan ke rumah sakit."
***
Yah, benar kata Bunda. Aku mendapatkan pendonor dalam kurun 3 bulan semenjak aku kecelakaan. Lebih lagi pendonor itu tidak memungut biaya untuk organ yang diberikannya untukku.
Detik-detik sebelum operasi, aku sempet deg-deg an. Bunda dan ayah tidak diperkenankan ikut ke ruang operasi. Si pendonor mengajukan syarat agar tidak ada satupun keluargaku yang mengetahui tentang dirinya, sehingga ia menyewa sebuah kamar yang khusus.
Empat minggu telah berlalu. Puji syukur tak henti-hentinya aku panjatkan pada yang kuasa untuk kesempatan yang diberikan padaku. Sekarang aku bisa melihat betapa luasnya perkebunan ayah dan betapa segarnya buah biru yang menggantung di daunnya ini.
Sesal ku hanya satu, aku belum sempat mengucapkan terimakasih untuk orang yang mendonorkan mata untukku.  Yah, semoga orang itu dberkati dengan berlimpah.
"Sekarang gimana keadaan kamu?"
"Yah, seperti yang kamu lihat." Percakapan sendu itu terdengar jelas di telingaku. Kali ini aku tak mempedulikan percakapan itu dan berjalan menjauh.
"Gue bangga ama lo, sob! Lu ngerelain mata lu buat cewek yang baru lu kenal. Apalagi lu nggak ngasih tau mereka tentang jati diri lo!"
Langkahku pun berhenti. Mungkin kah dia ? Pendonor yang nggak mau diketahui jati dirinya ? Aku pun menghampiri kedua pria itu dn melihat sesesosok pria tampan, putih dan sepertinya hanya berbeda umur 2 tahun di atasku.
"Dia lebih pantes ngedapetin kesempurnaan ini. Kekayaan, kecantikan, juga kesempurnaan. Termasuk penglihatannya." Kata si cowok yang hanya bisa menatap lurus tanpa ekspresi. Air mataku pun terurai haru. Pikiranku yang pernah menilai nya jelek terhapus semuanya.
Teman si pria itu pun pamit meninggalkannya dan aku melangkah perlahan menghampirinya yang duduk sendirian.
"Andre?" Panggilnya menebak suara langkahku.
Ingin rasanya ku sentuh wajahnya. Mengucap terima kasih untuk kebaikan yang bahkan aku sendiri masih belum paham alasannya. Namun, aku malah terisak, menahan rasa haru dan sedih melihat keadaannya sekarang.
"Siapa lu? Kenapa nangis ?!" Tanyanya agak panikk.
"Trima kasih." Ucap ku akhirnya disela-sela tangisnya.
Aku bisa melihat ia agak terkejut dan mencoba menghampiriku. "Vetra?" Ucapnya.
"Akang yang mendonorkan mata untuk saya?" Tanyaku.
Ia hanya tersenyum dan berusaha mencari dimana aku berdiri.
Aku yang tak tega melihatnya, menggapai lengannya yang melayang bebas , "iya, saya Vetra."
"Kamu sudah bisa melihat ? Bagaimana pemandangan perkebunanmu sendiri?"
"Indah." Jawabku masih dengan isakan tangis. "Akang..akang nggak perlu melakukan ini.."
"Ssst.. Jangan nangis.. Lu itu pantes ngedapetin ini semua. Sekarang elu bisa mengelola perkebunan ini . Hmm dan satu lagi! Jangan panggil gue akang lagi, nama gue itu Bagas. Jadi, panggil gue Bagas." Ucapnya tanpa ada rasa menyesal dengan keputusannya.
"Bagas. Kenapa harus kamu yang donor mata ?"
"Karna gue sayang lu. Oke, mungkin lu juga nggak percaya sama dengan gue yang nggak percaya dengan apa yang gue rasain. Tapi kalo lu tanya kenapa gue melakukan hal ini, karna gue sayang sama lu, gue kagum sama cara pemikiran lu dan cara lu menggapi masalah di hidup lu."
"Bagas. Aku boleh minta tolong lagi?"
"Katakan saja. Gue bakal berusaha semampu gue."
"Tolong bantu aku kelola perkebunan ini dengan menjadi pendampingku."
"Apa? Nggak, Ve. Lu harus cari pria lain. Gue sudah membatalkan pertunangan kita. Gue nggak pantes mendampingi cewek sesempurna elu."
"Ada orang bilang, hubungan bukan dibangun dari pribadi yang sempurna. Tetapi hubungan itu dibangun oleh pribadi yang mau saling melengkapi sehingga hubungan itu menjadi sempurna. Aku juga tidak akan sempurna tanpa mata kamu. Tidak akan ada pria yang mau menikahi wanita buta jika kamu tidak memberikan mata kamu dengan cuma-cuma."
“Elu tuh terlalu baik, Ve. Gue..."
Aku meletakkan jariku di mulutnya. "Aku mohon, bantulah aku." Pintaku seraya memberanikan diri untuk memeluknya.
Tak disangka ia pun membalas pelukkan ku dan berkata, "Aku hanya ingin kamu tidak menyesal telah memilihku."
"Tentu saja, aku tidak akan menyesal."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment