“Kak, ini bagus untuk souvenir!” Usulku pada Kak Lintang
seraya menunjukkan gelas berukuran tinggi yang dikemas dengan cantik.
Waktunya hanya tinggal dua bulan lagi. Ya, laki-laki yang
telah melamar Kak Lintang akan benar-benar menjadi suaminya dua bulan lagi.
Namanya Kak Aryo. Kak Aryo adalah orang yang baik, bijaksana, dan pengertian.
Setidaknya penilaianku terhadap Kak Aryo sangat sempurna dan aku harap Kak Aryo
merupakan pilihan yang tepat untuk Kak Lintang. Selain itu, Kak Aryo juga bisa
dikatakan mapan karna ia sudah memiliki rumah sendiri meskipun karena rumah
tersebut merupakan rumah warisan. Akan tetapi, ia sudah memiliki pekerjaan
tetap sebagai teknisi di sebuah pabrik dan penghasilannya pun terbilang cukup.
“Iya, bagus, sih. Tapi, harganya pasti mahal, Sen.” Gumam Kak
Lintang, seperti biasa tanpa sadar hitung-hitungannya yang mantap membuatnya
selalu berpikir panjang saat berbelanja. “Kita cari yang lebih murah saja.”
Putusnya dan mengembalikan gelas cantik itu ke tempat semula. Aku sendiri hanya
menggedikan bahuku. Tak berani berucap apapun pada Kak Lintang.
“Senja!” Suara besar milik Kak Fajar membuatku mencari sosok
pria bertubuh tinggi itu.
“Eh, Fajar!” Kak Lintang yang lebih dulu melihat Kak Fajar
langsung memanggilnya. Ia melambaikan tangannya mengisyaratkan agar Kak Fajar
menghampiri kami.
Aku tahu Kak Fajar pasti dipaksa (lagi) oleh Kak Lintang
untuk menjemputku. Entah sudah berapa kali aku meminta izin pada Kak Lintang
agar bisa berpergian sendiri sejak peristiwa beberapa minggu lalu –saat aku pulang
dari rumah Nanda- dan Kak Lintang tidak pernah memberikan izinnya. Ia memilih
untuk meminta Kak Fajar yang menjemputku dan memberi perintah untuk
mengantarkanku ke mana saja. Jelas saja walau Kak Fajar tak menolak, aku masih
saja merasa sungkan padanya. Sikapnya dingin. Ya, masih saja dingin meskipun
kami sudah berkali-kali pulang atau berngkat sekolah bareng, ataupun ke
toko-toko langganan Eyang.
“Apa masih lama? Aku ada janji sma teman sekolah.” Ujar Kak
Fajar saat sudah berada di toko yang kami kunjungi.
“Hanya sebentar lagi.” Ujar Kak Lintang tanpa peduli dengan
wajah Kak Fajar yang sudah berlipat-lipat. Tangan Kak Lintang dan pandangannya
fokus pada souvenir-souvenir cantik di hadapannya.
Aku bisa mendengar Kak Fajar berkali-kali mendengus kesal
dan jelas membuatku merasa tidak enak padanya. “Kak Lintang, aku bisa pulang
sendiri, kok. Kak Fajar kan ada janji sama teman sekolahnya, nggak apa-apa kan
kalau pulang duluan. Kita juga sepertinya masih lama.” Bujukku pada Kak
Lintang.
Kak Lintang menoleh padaku sebentar dan kemudian kembali
melihat-lihat benda-benda di hadapannya. “Sebentar lagi pasti selesai.”
“Tapi, kak-“
“Bujukanmu tidak akan mempan. Kamu itu kan anak kesayangan
Kak Lintang dan Eyang. Kalau terjadi apa-apa denganmu, pasti aku juga yang
disalahkan.” Ujar Kak Fajar ketus. Tatapannya tajam mengarah padaku.
Aku tak berani menatap lama-lama kedua mata Kak Fajar.
Entahlah, sejaka dulu Kak Fajar selalu memusuhiku sehingga perasaan takut itu
sudah seakan mendarah daging denganku. Akhir-akhir ini memang Kak Fajar selalu
berbut baik padaku, hanya saja kata demi kata yang keluar dari mulutnya selalu
mampu membuatku sedih. Meskipun tidak selalu bicara panjang lebar, tapi
kata-katanya nyelekit.
“Nah, sudah selesai!” Seru Kak Lintang yang membuyarkan
lamunanku sekaligus membuatku bisa menghela nafas. Setidaknya Kak Fajar tidak
menunggu terlalu lama. “Jar, kamu bawain ini, ya!” Pinta Kak Lintang lagi-lagi
hanya pada Kak Fajar. Kantong plastic hitam berukuran besar sudah berada di
tangan Kak Fajar, sedangkan aku tidak diperbolehkan membawa apapun.
“Kak, biar aku saja yang bawa.” Kataku seraya meraih kantong
plastic hitam dari tangan Ka Fajar. Kak Lintang tidak lagi bersama kami, ia
langsung berangkat ke kantoornya, sedangkan aku dan Kak Fajar harus ke tempat
parkir untuk mengambil motor dan pulang membawa souvenir pernikahan Kak Lintang
dan Kak Aryo.
“Siapa yang nikahan, siapa yang repot!” Umpat Kak Fajar
seraya menyalakan mesin motornya.
“Ya, kan Kak Lintang saudara kita, Kak. Sudah seharusnya
kita ikut dibuat repot dengan acara pernikahan ini, kan?” Kataku. Kak Fajar
menggumam, tapi tak terdengar olehku dan aku pun tak berani menanyakan
ucapannya.
Kejadiannya begitu cepat dan singkat. Bahkan aku tidak tahu
bagaimana bisa terjadi karna yang aku tahu motor yang Kak Fajar dan aku gunakan
sudah jatuh ke tanah berlapis batako. Souvenir milik Kak Lintang yang baru kami
beli berhamparan dan beberapa terlihat rusak. Kakiku terasa nyeri sekali hingga
rasanya aku ingin menangis.
“Hei! Kalau jalan hati-hati!” Seorang pria berteriak memaki
kami. Pria itu ada di dalam sedan silver dan sepertinya enggan untuk keluar.
Kak Fajar yang sepertinya tidak terima dengan perlakuan pria
ber-mobil mewah itu langsung menghampirinya. “Mestinya bapak yang hati-hati!
Sudah tahu ini pasar jalannya masih saja kencang!” Maki Kak Fajar tak mau
kalah. Aku masih mendengar perdebatan sengit yang malah membuat nyeri di kakiku
semakin sakit sampai akhirnya mobil itu berlalu dari tempat kami dan Kak Fajar
membantuku berdiri.
“Kamu nggak apa-apa? Apa kita perlu ke dokter? Aku dapat ini
dari orang itu.” Bberapa lembar uang ratusan ribu ditunjukkan Kak Fajar padaku.
Wajahnya nampak kahawatir denganku, tapi aku juga merasa Kak Fajar telah
melakukan pemerasan pada pengguna mobil mewah tadi.
Aku menggeleng pelan. “Aku rasa nggak ada yang parah dengan
luka baretku. Mungkin kita bisa gunakan uang itu untuk membeli barang-barang
Kak Lintang yang rusak.”Putusku. “Tapi, mungkin kita bisa membelinya besok
pagi? Aku rasa lukaku ini harus dibersihkan.” Kataku setengah memaksa.
Sejujurnya memang tidak ada yang parah dengan lukaku, hanya saja aku masih bisa
menjaga kebersihan apalagi untuk luka.
Kak Fajar mengangguk seraya membantuku naik ke atas motor.
Sepanjang perjalanan Kak Fajar terus saja menanyakan lukaku dan memaksaku untuk
ke dokter, tapi pendirianku tetap. Lagi pula aku lebih keras kepala dibanding
dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment