“Mami!!” Teriak Seorang gadis kecil dengan suaranya yang
masih cempreng. “Mami!!!” Teriaknya lagi
sambil terus berlari dari kejaran seorang anak laki-laki.
“Angga, sudah! Ela-nya kelelahan itu.” Lerai seorang wanita
muda yang menghentikan anak laki-laki itu.
“Tuh, kan, kamu juga keringatan begini!” Omelnya pada anak bungsunya.
“Ela!” Panggil seorang wanita muda yang masih terlihat
cantik tak jauh dari tempat anaknya terduduk kelelahan. “Kamu habis ngapain,
kok kecapean gitu?” Tanyanya penuh dengan perhatian. Ia mengambilkan tisu dari
tasnya dan mengelap keringat di kening dan leher putri semata wayangnya.
“Mami, Ela haus.” Rengek si gadis kecil.
“Yuk, kita beli di supermarket!” Ajak sang Mami.
Ela dengan polosnya, menggeleng. “Ela mau beli minum di situ.”
Tunjuk Ela pada sebuah warung kecing
taka uh dari tempat bermainnya.
“Ya, sudah. Ela bisa beli sendiri?” Tanya sang Mami seraya
dijawab dengan anggukan oleh Ela. “Ini
uangnya. Ingat, jangan beli macam-macam, ya!” Pesan sang mami masih dengan
penuh perhatian.
Gadis kecil yang bernama Ela itu pun berjalan dengan lincah
kea rah warung di pinggiran taman.
“Permisi, bu, beli air mineral gelas!” Seru Ela agak kencang.
Seorang wanita setengah baya pun keluar dari dalam warung
kecilnya. “Neng Ela? Beli minum?” Tanya si ibu yang sudah afal dengan wajah
imut Ela.
“Iya. Satu, ya, Bu!” Sebut Ela sekali lagi. Perhatian Ela
teralih oleh seorang anak laki-laki yang sedang duduk diam di bawah pohon. Ela
pun menghampiri anak laki-laki itu, “Kamu lagi apa?” Tegur Ela.
“Aku lagi istirahat. Kamu?”
“Aku? Oh, ya! Aku tadi lagi beli minum. Kamu mau?” Tanya Ela
polos.
“Mau.” Jawab singkat anak laki-laki itu. Ia pun membiarkan
Ela kembali ke warung, sedangkan dirinya melanjutkan membereskan lembaran koran
yang dibawanya dari pagi.
“Ini!” Seru Ela yang sudah menggenggam air mineral gelas di
masing-masing tangannya. “Ini buat kamu!”
“Makasih, ya!” Kata
anak laki-laki itu seraya menusukkan sedotan ke dalam kemasan.
“Kamu sekolah dimana? Kok bawanya Koran?” Tanya Ela masih
dengan wajah polosnya.
“Aku nggak sekolah. Seharian ini aku di jalanan keliling
daerah sini.” Jawab anak laki-laki itu tak kalah polosnya.
“Lho, memangnya mami kamu nggak omelin kamu kalau nggak
sekolah?”
“Nggak.” Geleng si anak laki-laki. “Ibu akan marah kalau aku
nggak jual Koran-koran ini.”
“Ela!!” Panggil sang mami dengan suara nyaring daridalam
mobil.
“Eh, mamiku udah manggil. Ini buat kamu.” Kata Ela yang
langsung meninggalkan anak laki-laki itu detelah memberikan selembar uang
sepuluh ribuan.
Anak laki-laki itu pun tersenyum lebar. Bukan karna ia bisa
makan enak dengan uang yang diterima dari teman barunya, tapi karna dengan uang
itu, ia tidak akan dimarahi ibunya meskipun Koran yang dibawanya tidak habis
terjual.
***
“Daddy, Ela mau itu!” Tunjuk Ela pada sebuah payung dengan
model tokoh kartun favoritnya, Hello Kitty.
“Lho, itu, kan payung? Ela tau cara pakainya?” Tanya Daddy.
Ela menggeleng. “Ela suka itu karna ada Hello Kittynya.”
Jelas Ela.
Sang daddy hanya tertawa geli melihat kepolosan putrinya.
“Ela mau itu?” Tanyanya sekali lagi. Ela pun mengangguk mantap. “Tapi, Ela
harus janji sama Daddy.”
“Aku, Amela, janji untuk menjaga semua barang-barang
pemberian daddy!” Ucapnya dengan lantang dan tak ketingglan senyum manis di
akhir janjinya.
Daddy pun tersenyum bangga pada putrinya dan mengajak masuk
ke dalam pertokoan yang ditunjuk Ela.
“Mami!!! Ela dibeliin ini sama Daddy!!” Seru Ela riang
menghampiri maminya yang sedang duduk di food court.
“Wah, bagusnya!” Decak kagum mami Ela yang sengaja berhenti
menyantap hidangan yang ada di depannya.
***
“Kamu kenapa nangis?”
“Payungku dirusak temanku. Sekarang aku nggak punya payung
hello kitty lagi. Terus aku pasti bisa kehujanan.” Rengek seorang gadis kecil.
“Sudah jangan menangis. Ini! Pakai saja!” Kata seorang anak
laki-laki yang menyerahkan payung kepunyaanya.
Anak gadis kecil itu hanya diam sambil memandangi payung
yang ada di tangan anak laki-laki itu.
“Payung ini memang tidak sebagus payung hello kitty kamu,
tapi dengan payung ini kamu bisa pulang dan tidak kehujanan.”
“Bukan begitu. Kalau aku pakai payung ini, nanti kamu pakai
payung apa?” Tanyanya polos.
Si anak laki-laki itu tersenyum dan mengeluarkan kantong plastik
hitam dari saku celananya. “Aku bisa pakai ini.”
“Terima kasih, ya! Ini jadi payung ungu Amela!” Sorak gadis
kecil itu.
“Hahhaha… Nama kamu itu Amela? Bukannya Ela?” Tanya anak
laki-laki itu.
Amela menaikan sebelah alisnya. “Kok kamu tau nama pendekku?
Kita pernah ketemu?” Tanya Amela bingung.
“Kamu tidak ingat dengan Koran-koran ini?”
Amela memperhatikan laki-laki itu dari ujung kaki hingga
ujung rambutnya. “Kamu anak kecil yang lebih milih buat jual Koran dari pada
sekolah?!” Tebak Amela.
Anak laki-laki itu mengangguk mantap. “Terima kasih buat
waktu itu. Karna kamu sekarang aku bisa sekolah.”
Amela tak percaya kelakuannya saat masih duduk di bangku
taman kanak-kanak bisa merubah hidup seseorang. Kini usianya memang masih
terbilang anak-anak. Tiga tahun telah berlalu dan kebaikannya mendapatkan
balasan. Bukan maksudnya untuk pamrih, tapi ia sadar apa yang ia tanam, itu
juga yang akan ia tuai. Jika dirinya menanam kebaikan, ia pun akan menuai
kebaikan. Begitu juga sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment