Senin, 23 April 2012

look your talent


Ketika seseorang pernah disakiti apalagi pernah dibohongi. Kepercayaan yang ia miliki akan sedikit pudar. Percaya akan sebuah mimpi juga dapat memudar ketika orang itu tidak membuka pikirannya lebar-lebar. Ia hanya berpikir menurut cara pandangnya dan tak mau melihat sisi lain dari sebuah mimpi.
"Lagi apa, Yo?!" Tanya Tasya yang baru saja tiba di kelasnya.
"Lagi buat gambar. Minggu depan ada kontes gambar gitu. Eh, kalo gue nggak salah inget ada lomba menulis cerpennya juga, lho! Lu mau ikutan?" Ajak Yogi
Tasya diam sesaat,"nggak, ah. Buat apa? Cuma buang-buang waktu." Ucapnya meremehkan.
Mendengar kata-kata Tasya yang tidak mengenakan di telinganya, Yogi pun berhenti menggambar dan menatap Tasya dengan serius. "Nggak ada yang sia-sia kalo lu ngelakuin hal itu dengan sungguh-sungguh. Mestinya lu tuh bangga punya talenta yang nggak semua orang bisa lakuin."
"Oke! Nggak usah sewot gitu, bisa, kan ?! Gue bangga, tapi menurut gue segala sesuatu hal yang ada di dunia ini itu nggak pasti dan nggak salah dong kalau gue nggak mau terlalu menonjolkan talenta gue yang belum pasti ngebuat gue jadi sukses."
Yogi menghela nafas. "Terserah!" Katanya menyerah.
"Yes! Kalah lagi kan, lu!?" Ucap Tasya bangga. Memang bukan hal yang aneh melihat Tasya dan Yogi jika berdebat, meskipun perdebatan mereka lebih terlihat seperti pertengkaran, tapi jika salah satu dari mereka mengalah, perdebatan pun akan berakhir. Sayangnya tak jarang, Yogilah yang mengalah.
"Gue bukannya kalah, tapi mengalah." Ucap Yogi yang tak senang seperti dianggap pecundang.
Tasya menggedikan bahunya. "Udah, ah. Sini ada yang bisa gue bantu nggak ? Begini-begini arsiran gue masih bagus." Katanya tetap dengan gayanya yang sedikit angkuh.
"Nggak perlu, tapi makasih. Gue mau coba kemampuan gue, tanpa bantuan orang lain." Tolak Yogi secara halus dan masih menggoreskan pensil di kertas gambarnya. "Lu jadi ikut snmptn? Ambil jurusan apa?" Tanya Yogi lagi disela-sela pekerjaannya.
"Jadi, ya, seperti yang bokap gue inginkan, kedokteran." Jawab Tasya singkat.
Yogi mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus, dong. Sesuai sama keinginan lu."
"Yogi, lu tau kan keinganan gue apa? Udah deh, jangan bahas kuliah. Itu tuh cuma mimpi!"
Yogi pun menurut, ia diam dan tetap mengerjakan pekerjaannya. Tasya pun ikut diam, memperhatikan apa yang dikerjakan Yogi, sahabatnya. Terbesit di hatinya untuk mempercayai kata-kata Yogi. Kata-kata yang seakan-akan menyuruhnya untuk mempercayai sebuah mimpi. Sedetik kemudian ia hapus cepat-cepat pemikirannya.
***
Cepat sekali waktu berganti, malam kembali hadir. Seperti biasanya, Tasya sibuk mengerjakan soal-soal latihan yang sudah disediakan oleh guru lesnya. Ayahnya memang mendidiknya dengan sangat keras, Tasya dididik dari kecil untuk dapat berpikir dengan cerdas. Tasya terbiasa untuk tidak mengikuti keinginan dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia tidak menekuni bakat yang ia miliki. Menulis. Ia akan memulai menulis jika ia sudah sangat lelah berfikir.
Tok…tok..tok… “Sya, lagi sibuk?” Tanya mamanya yang langsung masuk ke kamarnya sesaat setelah mengetuk pintu.
“Seperti biasa, Ma.” Jawab Tasya singkat. “Kak Dylan kapan pulang, Ma?”
“Belum ada kabar dari kakak kamu. Mungkin ia masih sibuk dengan kuliahnya di Inggris.” Jawab mamanya singkat. “Kamu yakin mau masuk kedokteran, Sya?” Tanya sang mama agak khawatir.
Tasya berhenti mengerjakan soal-soalnya. “Kok tumben mama tanya begitu? Tentu saja Tasya yakin.”
“Bukan begitu, Nak. Maksud mama, apa hati kamu benar-benar ingin memasuki dunia kedokteran? Mama dengar kamu pintar sekali menulis, bagaimana menurutmu dengan dunia sastra?”
Tasya semakin bingung, ia pun menghampiri mamanya dan duduk di sebelah mamanya. “Ma, mama tau, kan, Tasya itu nggak bisa memilih? Sama dengan Kak Dylan, Ma. Ka Dylan juga nggak bisa memilih saat diminta papa untuk melanjutkan sekolah artsiteknya di Inggris."
"Kakakmu tidak terpaksa, Nak. Kak Dylan memang sangat menyukai dunia arsitek. Mama hanya mau kamu juga bisa melakukan hal yang menurutmu baik. Mama nggak mau kamu selalu hidup dibawah tekanan dan paksaan dari orang lain."
Tasya memandang mamanya dengan haru dan kemudian memeluknya. "Tasya hanya ingin membuat mama dan papa bangga."
Tasya terdiam. Ia bingung harus berbuat apa. Apakah membuat mama dan papa bangga bukanlah sebuah impian? Apa artinya impian itu? Batin Tasya bertanya-tanya.
***
"Yogi, gue bingung deh sama yang namanya impian. Impian itu bukannya hal yang membuat orang senang, ya?" Curhat Tasya saat tiba di kelas. Sayang, yogi masih tetap sibuk dengan headphone yang menggantung di telinganya. "Menurut lu impian tuh apa, Yo?" Tanya Tasya yang akhirnya menyadari kalau dari tadi Yogi tidak mendengarkannya. Kesal tak dipedulikan, Tasya mencopot paksa Headshet yang menggantung di telinga Yogi.
"Tasya! Ngapain sih lu?!" Omel Yogi yang merasa kesenangannya terganggu.
"Lu tuh yang ngapain?! Dari tadi gue ngomong sama lu, tapi lu cuekin, tau, nggak ?"
Yogi kembali mengalah. Ia mengambil paksa headshetnya yang dipegang Tasya. "Ada apaan lagi, sih?!" Terdengar dari nada suaranya, ia masih kesal atas sikap Tasya.
"Nih, dengerin, ya. Nyokap semalem ngomong ke gue. Gue tuh seharusnya melakukan hal yang gue inginkan, hal yang gue impikan. Nyokap ngerasa gue tuh maunya masuk sastra. Menekuni bakat gue dalam menulis. Nyokap ngerasa impian gue itu ada di dunia menulis. Nyokap tuh.."
"Tasya, lu tuh udah gede. Udah umur 17 tahun. Cewek terpinter di angkatan kita. Bisa nggak sih lu tuh punya pendirian?" Potong Yogi.
"Maksudnya?" Tanya Tasya bingung.
"Sadar nggak, sih? Selama ini lu hanya mengikuti keinginan nyokap bokap lu? Lu tuh nggak pernah mau menggunakan cara pikir lu sendiri. Lu tuh nggak percaya dengan diri lu sendiri."
Tasya nampak berpikir. "Bener, sih, Yo. Tapi apa salah, gue mau menyenangkan orang tua gue? Itu juga impian, kan?"
"Tasya, setiap anak pasti ingin membanggakan orang tuanya. Banyak cara kok untuk membanggakan orang tua. Lu tau? Gue disuruh masuk jurusan hukum saat kuliah nanti sama bokap. Dia udah nentuin dimana gue harus kuliah."
"Serius lu, Yo?!! Bukannya lu suka gambar?? Trus impian lu buat jadi komikus gimana ?"
Yogi menjentikan tangannya di depan wajah Tasya. "Nah! Ya, sama kayak lu gue juga mau banggain ortu gue. Gue ngikutin kemauan ortu gue, dan gue tetep mengejar impian gue menjadi komikus. Nggak ada yang salah, kan, seorang pengacara menyukai gambar? Lagi pula bakat gue juga bisa membantu pekerjaan gue." Jelas Yogi panjang lebar. Tasya nampak memperhatikan Yogi dengan seksama. "Intinya, Sya. Impian itu adalah hal yang akan lu raih meskipun banyak hambatannya. Hal yang nggak hanya membuat orang lain senang, tapi kita yang menjalaninya juga senang."
Tasya mengangguk-anggukan kepalanya. "Hmm ngerti deh gue sekarang. Jadi, gue sebenernya tetep bisa jadi penulis?"
"Yes, Of course!" Jawab Yogi yakin.
"Btw, lu tadi lagi dengerin apa, sih Yo? Kok asik bener kayaknya."
"Gue lagi dengerin dentuman drumnya Echa Soemantri. Keren lho, permainanya."
"Apa istimewanya?"
"Eeh, dia hebat, lho. Drummer sejati. Nggak pernah ngeluh, dan selalu menanggapi masalah dengan sabar. Satu lagi, dia rendah hati. Dia nggak hanya nge-drum untuk pekerjaan, tapi untuk kesenangan, dan pelayanannya. Dia juga kuliah. Now, how proud his parents about him! A best drumer!" Kata Yogi bangga.
Tasya diam, termenung. Ia tak lagi mendengar celotehan Yogi tentang idolanya. Terbesit dihatinya, rasa bangga akan Yogi. Karna cowok yang satu ini, ia mengerti tentang sebuah mimpi. Sekarang, ia tahu bagaimana meraih impiannya. Trima kasih, Yogi. Batinnya bangga dan senyumnya pun mengenmbang seraya kembali mendengar celotehan Yogi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment