"Hhh.." Aku menghela nafas panjang. Enam bulan telah berlalu, tapi aku juga tak mampu melupakannya. Entah apa yang membuat aku terikat dengan rasa ini. Rasa yang seharusnya aku hapus dan tak perlu lagi aku menyimpan semua kenangan ini.
Enam bulan lalu, hari dimana semuanya terasa mimpi bagiku. Mimpi buruk yang sama sekali tidak aku inginkan.
Entahlah, apa yang harus aku rasakan sampai saat ini. Kesedihan. Entah kesedihan karna kekecewaan ataukah kesedihan karna kehilangan akan dirinya.
“Hhh..” Lagi-lagi ku menghela nafas panjang. Ku pandangi langit yang sedang berpesta. Bintang-bintang berlomba memancarkan cahaya mereka. Ku palingkan pandanganku pada bulan. Sendiri dengan cahayanya.
Qiyo...
***
"Rasya, Qiyo dateng, tuh!" Panggil Kak Darren.
Hari ini memang aku akan jalan dengan Qiyo. Seorang cowok yang selama setahun ini setia menemaniku. Pacarku yang sangat sempurna. Kenapa sempurana? Karna dia punya segalanya yang disebut 'cowok idaman'. Tajir, keren, pinter, baik, dan yang terpenting gantengnya itu, lho. Haa! Gue adalah cewek beruntung yang bisa jadi ceweknya.
"Kak Darren, Rasya berangkat dulu, ya?!" Pamitku pada kak Darren. Kakak cowokku, yang juga kakakku satu-satunya.
"Hati-hati! Eh, pulang jam berapa?"
"Hmm ga tau, tapi nanti Rasya kabarin,kok." Kataku memutuskan untuk segera pergi agar tidak kena interogasi semakin parah dari kak Darren.
Qiyo telah menungguku di depan mobilnya. Kali ini dia mengendarai Ferari merah kesayangannya.
"Hai, beb! Udah lama?" Tanyaku berbasa-basi.
"Belum, kok. Tenang aja lagi." Katanya menanggapi dengan santai. Ia tersenyum seraya mengecup keningku. "Yuk, masuk!" Katanya lagi seraya membukakan pintu untukku.
"Kita mau kemana? Hmm aku mau nonton, beb. Lagi ada banyak film bagus." Kataku membuka pembicaraan sesaat ia melajukan mobilnya.
"Boleh. Memangnya ada film apa yang bagus?" Tanyanya.
"Breaking dawn!!" Seruku riang.
"Hahahah.." Tawanya, menanggapi permintaanku.
Qiyo begitu baik padaku, ia selalu menuruti apa yang aku minta. Hampir tak pernah kami berselisih. Ia sangat mengerti diriku, terlebih lagi ia selalu bersikap dewasa menanggapi sifatku yang manja.
"Bagus, kan, filmnya tadi?" Tanyaku seusai kami menonton.
Ia menganggukan kepalanya. "Bagus, kok. Beb sekarang mau ke mana?" Tanyanya seraya terus menggenggam tanganku.
"Beb-nya udah laper? Mending kita makan, yuk, udah malem." Usulku dan lagi-lagi dipatuhi Qiyo.
"Yuk, aku juga udah laper, tapi aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Nanti kita makan di sana." Katanya dan aku menyetujuinya dengan memeluk tubuhnya. "Aku sayang kamu." Ucapnya lembut dan membuatku tersenyum lebar.
"Aku juga sayang banget sama beb." Kataku.
Awalnya aku bingung, sebenernya Qiyo mau ngajak makan malam kemana. Berkali-kali pun aku tanya, ia selalu mengelak dan tidak mau memberi tau.
"Kita mau makan di mana, sih, beb?" Tanyaku untuk kesekian kalianya karna penasaran.
"Penasaran, ya?" Godanya membuat ku semakin gemas. "Sebentar lagi sampai, kok."
"Iih, kamu, aku nanya nggak dijawab." Rajukku pura-pura mengambek.
Qiyo yang tau sifat manjaku hanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku.
"Aku mau kasih kejutan buat kamu." Katanya seraya memamerkan senyumnya yang membuat hatiku luluh.
Sekitar 15 menit kami berkeliling kota jakarta, akhirnya Qiyo menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung. Bukan gedung, tapi terlihat seperti bekas gedung.
"Qiyo? Kok?" Tanyaku aneh. "Kamu nggak aneh-aneh, kan?" Tanyaku agak ragu melihat tempat yang dipilih Qiyo.
"Udah, jangan takut. Yuk, ikut aku!" Ajaknya sambil menggenggam erat tanganku.
Aku mengikuti langkah Qiyo. Jujur aku takut banget, secara tempatnya gelap dan gedung ini terlihat angker. Kami menaiki satu per satu anak tangga hingga Qiyo menghentikan langkahnya.
"Beb, kamu mau ke mana?" Tanyaku panik ketika ia melepaskan genggamannya. "Beb?" Panggilku sekali lagi.
Tep. Tiba-tiba ruangan menjadi terang. Sekelilingku bertaburan lampion berbentuk hati dan tak jauh dari tempat aku berdiri sebuah meja dengan sepasang kursi telah disiapkan dengan pernak-pernik indah yang menghiasinya.
"Kamu suka?" Tanya Qiyo yang ternyata sudah ada di sampingku lagi.
Aku memeluknya dengan erat. "Makasih, beb!" Seruku senang.
Qiyo mengiringku mendekati meja yang berbalut taplak berwarna pink dengan hidangan makan malam untuk kami.
"Beb, kapan kamu buat ini?" Tanyaku yang sekarang penasaran dengan idenya Qiyo.
"Ada deh, heheh.." Katanya lagi-lagi sok rahasia.
"Ihh, kamu tuh, dari tadi buat aku penasaran terus." Kataku dan kembali melanjutkan menyantap makananku. "Oh, iya, makasih, ya, Beb. Aku seneng banget, lho."
"Ini rasa terima kasih aku ke kamu. Nanti setelah makan aku mau tunjukin kamu satu hal lagi." Katanya.
"Oh, ya? Apa? Sekarang aja!" Pintaku setengah memaksa.
"Kejutan. Nanti juga kamu tau, kok."
"Aku udah selesai makan!" Kataku seraya meletakkan sendok dan garpu di sisi piring. "Sekarang apa kejutannya?" Kataku lagi memaksa.
Qiyo sempat terbengong melihat tingkah konyolku, tapi sesaat kemudian ia tertawa kecil. "Kamu ini."
Qiyo bangkit dari tempat duduknya dan mengajakku mendekati tepian gedung yang di beri pembatas cukup tinggi.
"Malam ini indah, kan? Bintangnya juga terang." Katanya seraya mengamati langit.
Aku yang bingung hanya ikut mengamati apa yang diamati oleh Qiyo. Beberapa detik kemudian aku menyerah. Tak ada yang kutemukan. Apa yang indah? Tanyaku dalam hati. "Beb, aku ga lihat apa-apa. Biasa aja, seperti malam-malam kemarin."
Ku lihat Qiyo tersenyum dan tangannya menekan sebuah tombol sehingga cahaya sekitar kami mulai redup.
"Liat, deh!" Tunjuk Qiyo.
Kini aku setuju dengan Qiyo kalau langit malam ini sangat indah. Cahaya yang dipancarkan bintang-bintang malam ini sangat terang. "Indah, Beb!"
"Kalau saja nggak banyak lampu yang menerangi dunia ini, kita bisa lebih jelas melihat terangnya bintang."
"Masa?" Tanyaku meledeknya. "Kamu suka bintang, beb?"
"Ya, almarhum kakek aku pernah bilang, mereka yang telah meninggal akan menjadi bintang." Katanya yang bicara semakin serius.
"Berarti mama udah jadi bintang?" Tanyaku.
Qiyo menoleh ke arahku. Pandangannya terlihat sendu. "Iya, mama kamu udah jadi bintang. Dia yang menerangi malam-malam kamu." Katanya seraya mengelus lembut kepalaku.
Aku tersenyum. Aku memang kehilangan kasih sayang mama sejak satu tahun lalu. Hidupku langsung berubah saat itu. Aku minder dan tak mau bergaul dengan siapa pun. Qiyo lah yang menemaniku selama ini.
"Mama jadi bintangku di langit, tapi aku juga punya bintang di dunia ini."
"Oh, ya? Siapa?"
"Qrisheyo Octavian." Kataku sambil tersenyum bangga dan menyebutkan nama lengkap qiyo dengan bangga.
Qiyo memelukku dengan erat. Aku tau ia sangat menyayangiku, sama seperti aku menyayanginya. Inilah yang membuatku tidak khawatir kalau dirinya akan berpaling pada wanita lain atau mengkhianati hubungan kami.
***
"Kak Darren, anterin aku daftar kuliah, yuk!" Pintaku pada Darren saat kami sarapan.
"Memangnya Qiyo ke mana?"
Aku menggedikan bahuku. Sudah seminggu ini Qiyo memang sangat sibuk. Sehari kami hanya bisa berbicara lewat telpon, itu pun hanya sekali dan kalau aku sedang beruntung. Kalau nggak, paling hanya bisa smsan.
"Lagi sibuk sama UAS." Jawabku sekenanya.
Ka Darren mengantarkanku ke sebuah universitas swasta di daerah Jakarta tanpa membantah, walaupun ia hanya bisa mengantarkanku dan menyuruhku pulang sendiri.
"Rasya!!" Seru seseorang ketika aku memasuki lobby kampus.
"Shanet?! Lu masuk sini juga?"
"Yoi.. yoi.. Bokap nyuruh gue masuk sini."
"Gue mau ke ruang administrasi, lu udah bayar?"
"Udah, sih. Yuk, kalau mau gue temenin!" Katanya menawarkan.
Universitas yang cukup padat. Kenapa aku bilang begitu? Karna mahasiswa di sini terlihat banyak tapi luas wilayahnya tidak terlalu besar.
"Sya, liat dhe, itu bukannya, kak Qiyo?" Tunjuk Shanet ke arah kantin.
"Iya, Qiyo!!" Pekikku senang. "Yuk, ke sana dulu!" Ajakku seraya menarik tangan Shanet.
Tapi, siapa yang ada di sampingnya? Kenapa Qiyo merangkulnya? Tanyaku dalam hati. Mungkinkah Qiyo berselingkuh? Tebakku ragu.
Aku menghampiri Qiyo untuk meminta penjelasan darinya.
"Rasya? Kok kamu bisa ada di sini?" Tanyanya agak terkejut dan secepat kilat melepaskan tangannya dari pinggang si cewek yang duduk di sebelahnya.
"Aku abis daftar di sini. Kamu kenapa sama dia? Kok aku susah banget ngehubungin kamu?"
"Ya, iyalah, lu susah ngehubungin Qiyo, dia kan sama gue melulu. Trus, tadi lu bilang apa? Mau masuk sini? Ih, kalau gue jadi Qiyo, gue juga nggak betah diikutin sama anak SMA yang manja kayak lu!"
"Tania, STOP! Udah, diem! Jangan ngomong sekasar itu sama Rasya!" Bentak Qiyo.
"Qiyo! Mau sampai kapan lu pura-pura begini? Mau sampai kapan kita backstreet dari anak manja ini?!" Teriak cewek yang Qiyo panggil Tania.
"Tania, kita udah pernah membahas ini, kan?"
Aku mulai bosan dengan pertengkaran yang mereka buat dan aku dibuat sebagai penonton. Atau lebih tepatnya pecundang.
"Qiyo!" Seruku lebih kencang dari suara mereka berdua. "Qiyo, kenapa nggak jujur, sih?" Tanyaku masih tak menyangka dengan pengkhianatan yang dilakukan Qiyo.
"Mulai deh sok manja!" Cibir Tania.
"Kak Tania, tolong diem dulu. Aku cuma perlu ngomong sebentar dengan Qiyo. Setelah itu, aku jamin Qiyo akan jadi milik kak Tania sepenuhnya!" Ucapku tegas dan menarik Qiyo sedikit menjauh dari Tania.
"Sya, aku.. Aku tau aku salah dan aku nggak pantes lagi buat kamu."
Aku menepuk pundak Qiyo dan tersenyum. "Kamu nggak salah." Aku menghela nafas cukup panjang menahan rasa kesal dan kecewa yang saat ini memenuhi hatiku. "Aku memang cewek manja. Aku nggak tau harus gimana, aku cuma bisa bilang semoga kamu dan kak Tania bahagia."
"Sya... Kita bisa tetep temenan, kan? Aku cuma mau jaga kamu. Aku ngerasa nyaman sama kamu."
"Kalau kamu ngerasa nyaman sama aku, kamu nggak akan berpaling dari aku." Kataku dan aku berlalu darinya.
Kenyataannya merelakan seseorang yang kita sayang pergi dari hidup kita itu nggak gampang. Sekalipun orang itu telah menyakiti hati kita. Entah apa namanya ini, cinta sejatikah? Atau hanya cinta monyet yang terlalu berlebihan? Apapun itu sampai saat ini, aku duduk di semester II, aku masih tidak bisa melupakannya.
Pemandangan yang sangat membuat aku muak, ketika melihat Qiyo bermesraan dengan Tania. Yah, masa lalu.
Ku pandangi langit malam ini, ku lihat tak banyak bintang bertaburan. Cahayanya pun tidak terlalu terang. Pandanganku beralih ke benda angkasa lainnya. Berbentuk bulat, berwarna putih cerah.
Bintang yang tak mungkin ku gapai.
Bintang yang tak mungkin ku miliki.
Bintang yang tak mungkin ku raih.
Bintang yang hanya mampu ku impikan
Cahayamu tak seberapa, tapi ku tetap menjadi bayang-bayangmu
Bentuk aslimu tak seindahku, tapi mereka tetap mengejekku
Kau dengan teman-temanmu
Sedangkan aku sendiri.
Ketika kau pergi, aku tetaplah sendiri
Menerangi langit meskipun mereka tak menginginkan aku
Bulanmu.
Tanpa sadar ku untai kata demi kata menjadi sebuah puisi yang tercurah dari isi hatiku.
Drrrt drrrt... Ponselku bergetar. Di layar tertulis 'SHANET'.
"Halo!" Sapaku.
"Halo! Rasya, lu mesti cepet-cepet ke rumah sakit!" Perintah Shanet paniik.
"Ha? Kenapa? Siapa yang sakit?"
"Bukan, bukan sakit, tapi kak Qiyo. Kak Qiyo kecelakaan sama sepupu gue, Tania."
"Apa?!" Pekikku kaget. Bukan hanya terkejut karna Qiyo yang kecelakaan, tapi juga aku terkejut karna Tania adalah sepupu Shanet. Kenapa Shanet baru memberitahunya sekarang?
Tapi itu hanyalah masalah kecil, aku tak terlalu memperbesar masalah itu. Secepat kilat aku berangkat ke rumah sakit dimana Qiyo dirawat menggunakan taksi. Bahkan aku sampai tidak sempat berpamitan pada kak Darren.
"Shanet, Qiyo, gimana?" Serbuku ketika berhasil menemukan Shanet.
Shanet menunduk dan wajahnya terlihat sendu.
"Shanet! Jawab! Qiyo, gimana?!"
"Kak Qiyo.. Kak Qiyo.." Shanet terdiam sebentar. "Dokter udah berusaha semampu mereka, Sya. Tapi, kak Qiyo tetep nggak bisa ditolong. Kata dokter, terjadi pendarahan hebat di kepalanya."
Aku menangis histeris. Sempat aku lemas dan duduk di lantai. Semuanya terasa mimpi. Aku baru saja kehilangan cintaku, tapi ku tak menyangka kalau orang yang ku cinta juga harus pergi.
Aku tak kuat menghadiri pemakaman Qiyo, terlebih lagi aku tau kalau Tania datang dan ia masih bisa menjalani hidupnya. Sedangkan Qiyo harus pergi dengan sia-sia.
***
Malam ini, bintang pun masih bersinar terang. Satu bintang yang selalu bersinar terang setiap malamnya. Ku sebut, Qiyo.
Kau tetap bersinar..
Sinarmu tak pernah memudar
Sekalipun kau tak lagi bersamanya
Kau bercahaya sendiri
Menerangi dunia ini
Sedih masih ku rasakan
Perih masih kurasakan
Meski ku lihat dia tak lagi denganmu
Tapi..ku tau diriku pun tak bisa bersamamu
Ku hanya memandangmu
Memantulkan sinar yang kau berikan
Trima kasih karna cahayamu
Bintangku
Ku tersenyum memandangi langit. "Aku tau kamu sudah bahagia di sana, Qiyo. Aku pun merelakanmu. Merelakan kekecewaanku pergi dengan cinta tulusku" Kataku seraya menutup buku diary yang selama ini menjadi teman curhatku. Titik-titik air mata mulai jatuh dari pelupuk mataku. Aku memang telah merelakannya dan mungkin ini yang terbaik untuk kehidupanku dan Qiyo.
The End