Aku melangkahkan kakiku menghampiri dirinya. Dirinya yang sedang menatap dunia luar lewat jendela kamarnya. Wajahnya mengeras, tapi tatapan matanya terlihat menyejukkan. Rambutnya yang hitam kelam terurai dengan indah, masih seperti pertama kali aku mengenalnya. Tubuhnya sedikit lebih kurus daripada dua hari yang lalu saat aku menemuinya. Bulu kudukku berdiri ketika menyentuh tangannya yang dingin. Ia masih bergeming, tapi ku lihat linangan air mengalir menyusuri pipinya yang pucat. Ia tak mengalihkan pandangannya untuk menatapku. Matanya tetap memandang lurus ke luar jendela. Tak ada kehidupan yang terasa di sorot mata itu. Aku mengelus lembut rambut hitamnya dan membuatku merasa bersalah karna air matanya terus mengalir.
***
"Daddy, Iren diajak mom jalan-jalan!" Seru anak perempuan semata wayangku saat kami baru akan memulai sarapan di minggu pagi.
"Really? Ke mana? Kok daddy nggak diajak?"
Ia menggeleng cepat. Senyum manisnya selalu menjadi favoritku. "Nggak." Ia mendekatkan bibirnya pada telingaku. "Ini urusan perempuan." Bisiknya yang membuat ku langsung tertawa.
"Oke.. kalian harus hati-hati, ya." Ucapku.
"Morning!! Wah, kalian sedang bisik-bisik apa?" Suara Ananta memcahkan keheningan yang aku dan Iren ciptakan. Ananta, ibu yang baik dan istri yang sempurna buat aku dan anakku.
"Aku bilang Mom love daddy very much." Ujar Iren yang senang menggoda kami. Pipi Ananta terlihat memerah, entah karna make-up yang berlebihan atau tersipu malu.
"Eirene Manuel, stop it!" Perintah Ananta yang pura-pura marah karna keusilan Iren.
"Why mom? it's true, right? You love him so much." Bela Iren. Aku memang terkadang bingung dengan hubungan ibu dan anak yang satu ini. Mereka bukan hanya seperti ibu dan anak, tapi juga seperti sepasang sahabat dan aku sangat tidak keberatan dengan keadaan ini.
***
Eirene Manuel. Gadis kecil yang selalu riang dan tidak pernah ku lihat senyumnya hilang dari wajahnya. Dewi kedamaian ku dan Ananta. Tak pernah aku bayangkan kalau minggu itu adalah minggu terakhir dimana kami bertiga tertawa bersama. Entah kesalahan apa yang aku buat di masa lalu hingga aku harus kehilangan Iren, putriku yang masih berusia 5 tahun.
Ananta menyalahkan dirinya atas kehilangan Iren. Meski aku terus meyakinkannya kalau kami akan menemukannnya, namun kenyataan membuat dirinya tak bisa memaafkan dirinya. Kenyataannya setelah kami berusaha mengerahkan seluruh usaha kami untuk menemukannya, Iren seperti ditelan bumi. Tak ada jejak yang membuat kami menemukan keberadaanya.
Sepuluh tahun telah berlalu. Sepuluh tahun juga Ananta membenci dirinya sendiri.Ia hanya mengurung diri di kamar. Menyiksa dirinya, seakan-akan dengan seperti itu ia bisa menebus kesalahannya.
Aku tidak pernah menyalahkan Ananta, bahkan dengan berat hati aku telah merelakan kehilangan Iren. Bagaimana pun keadaannya saat ini di luar sana, apakah ia masih hidup bersama orang yang menculiknya? Biarlah ia hidup dengan sejahtera. Jika memang hal terburuk sekali pun terjadi pada dirinya, membuat dirinya meninggalkan dunia ini. Biarlah ia tenang dan tidur dalam damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment