"Mom... Dad..! Mom... Dad!!"
***
"Senja!!" Panggil Kak Lintang dengan suara cemprengnya. Secepat mungkin aku keluar dari kamarku dan menghampirinya yang berada di dapur.
"Kak Lintang?' Panggilku ketika tidak melihat dia di dapur.
"HAPPY BIRTHDAY, SENJA!!" Seru Kak Lintang dari belakangku. Di samping kanannya, berdiri seorang wanita tua renta, namun senyumnya tampak terlihat sumringah. Sedangkan di samping kirinya berdiri seorang lelaki bertubuh tegap dan seperti biasanya, tidak ada senyum yang terukir di wajahnya. Kak Lintang menjulurkan kue bolu yang dibawanya. Lilin dengan angka 17 tertancap di atas kue lembut itu.
"Eit, jangan ditiup dulu, kamu harus mengucapkan doamu dulu." Cegah Kak Lintang saat aku hendak meniup api yang membakar lilin itu.
Aku pun memejamkan mataku dan mengucapkan doa-doaku dalam hati. Sesaat setelah aku membuka mata, aku pun meniup lilin itu. Kak Lintang memeluk ku dengan erat, begitu juga Eyang Nur. Hanya Kak Fajar yang tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun.
Inilah aku, Senja. Aku hidup dalam kesederhanaan bersama Eyang dan saudara-saudaraku. Eyang Nur yang telah menginjak usia 68 tahun, namun tetap rajin membuat keripik yang terbuat dari singkong dan menjualnya di warung sekitar kampung kami dan tak jarang aku membawa sebagian keripik buatannya untuk dijual di kantin sekolahku. Kak Lintang, Kakak perempuanku yang sangat aku sayangi. Kami terpaut umur cukup jauh sekitar delapan tahun, tapi itu tidak membuat kami canggung. Kami malah tampak akrab. Kami sering melakukan hal bersama-sama, ya, aku akui itu karna hobi kami yang cenderung memiliki banyak kesamaan. Kak Lintang sangat terobsesi dengan menikah muda, oleh karna itu, tiga bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang lelaki yang ia kenal di bangku SMA.
Saudara terakhirku, Kak Fajar. Kakak lelaki ku yang satu ini sangat pendiam atau bisa dibilang jutek. Entah kenapa, aku merasa ia tidak pernah menyukai aku sejak kecil. Sikapnya yang cuek memang tidak menggangguku, tapi sikapnya yang selalu menganggap aku tidak ada membuat aku risih. Padahal usia kami hanya terpaut tiga tahun.
"Fajar, ayo, ucapkan selamat pada Senja!" Perintah Kak Lintang dengan mata melotot.
Kak Fajar diam untu sesaat, menatapku dan kemudian mengambil tas kuliahnya. "Eyang, Fajar berangkat." Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mencium punggung tangan dan pipi Eyang Nur dan kemudian melenggang pergi tanpa mengucapkan satu kata pun.
"Hei, Fajar!! Anak itu, kenapa selalu bersikap begitu?!!!" Geram Kak Lintang yang nyaris mengejar Kak Fajar sebelum aku menarik lengannya.
"Nggak apa-apa, kok, Kak. Kak Fajar mungkin sedang buru-buru. Lagipula aku sudah senang, kok, mendapat ucapan dari Kak Lintang dan Eyang Nur." Ucapku tulus dan benar saja, amarah Kak Lintang berangsur reda dan tergantikan oleh senyumnya.
"Yah, biarkan anak itu." Putusnya.
"Kak Lintang, Eyang, Senja juga pamit berangkat sekolah, ya? Ada ujian hari ini." Pamitku dan melakukn hal yang sama seperti Kak Fajar, mencium punggung tangn dan pipi Eyang Nur.
Aku melangkahkan kakiku keluar rumah dan berhenti sejenak untuk menghirup udara pagi yang begitu sejuk. Aku mengedarkan pandanganku pada pekarangan rumah kami. Kami memang tidak memiliki rumah mewah bertingkat, tapi kami memiliki tanaman hijau di sekitar rumah kami yang membuat mata kami segar.
Aku kembali melangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak menuju sekolahku. Melewati setiap rumah yang berjarak satu meter setiap satu rumahnya. Ku tebarkan senyumku pada tetangga-tetanggaku, tanpa memandang usia dan gender mereka.
Kulupakan sejenak mimipi yang menghantuiku semalam. Mimpi yang kian hari kian rajin menghampiri tidurku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment