Senin, 10 Juni 2013

EIRENE (EVERYTHING HAS CHANGE)

"Kamu tidak bisa seperti ini terus. Kamu harus bisa melanjutkan hidupmu! Ananta mungkin memang sudah tidak bisa kembali seperti dulu." Desakan orang tuaku untuk menceraikan Ananta membuatku semakin terpojok.
Dua hari lalu mereka datang berkunjung ke rumahku. Terlihat sekali kalau mereka sangat terkejut melihat keadaan Ananta yang tidak mengalami kemajuan melainkan bertambah buruk. Ananta sama sekali tidak bisa diajak bicara atau pun sekedar menanggapi setiap ucapan mama dan papa. Itulah yang menjadi alasan kuat mereka memaksaku untuk membawa Ananta ke rumah sakit jiwa dan menceraikannya.
"Aku tidak mungkin meninggalkan Ananta. Dia sudah cukup terpuruk dengan kehilangan Eirene." Belaku, tapi sepertinya tak membuat pemikiran mama atau pun papa berubah. Aku cukup mengerti dengan permintaan keluargaku mengingat aku hanyalah anak mereka satu-satunya. Mereka menginginkan seorang cucu, kehilangan Eirene juga merupakan pukulan besar untuk mereka, tapi setidaknya Ananta dan aku bisa memberikan mereka pengganti Eirene.
***
Aku membuka pintu kamarku perlahan, melihat Ananta yang masih di tempatnya semula membuat hatiku selalu sakit. Aku merasa tidak berguna dengan tidak bisa berbuat apa-apa untuk Ananta maupun Eirene. Aku mebelai rambutnya dengan lembut, kecupan ringanku mendarat di keningnya. "Morning." Sapaku lirih. Mataku kembali terasa panas menahan air mata yang tak sabar ingin keluar dari mataku.Aku menelan ludahku dengan susah payah, seakan kekeringan melanda kerongkonganku.
Seperti biasanya tidak ada tanggapan dari Ananta. Aku mencoba tersenyum mewaraskan pikiranku. Apa yang harusnya aku lakukan? Apa aku seharusnya mengikuti permintaan mama dan papa? Pikiran dan hatiku mulai bergejolak. Aku masih sangat mencintai Ananta.
Kamu memang mencintainya, tapi apa dia masih bisa merasakan cinta selama ini? Ia bahkan tidak membalas senyum dan ucapan kasih sayang darimu? Kata hatiku
Jangan bertindak bodoh! Ananta tidak pernah meninggalkanmu saat dirimu terpuruk bahkan mengalami kebangkrutan! Apa hanya karena ini kamu tega membiarkannya sendiri? Kata hatiku yang lain.
Aku menggeleng cepat. Aku putuskan untuk menyembuhkan Ananta sendiri dan tidak ada perceraian seperti nasihat mama dan papa. Aku kembali menatap Ananta lekat-lekat, telapak tangannya yang sedingin es aku genggam dengan erat.
"Ananta sayang, kita keluar, yuk!" Ajakku dengan harapan Ananta akan memberikan respon. "Kita cari Irene lagi." Tambahku. Nafasku tertahan berharap usahaku untuk mendapatkan respon Ananta tidak sia-sia.
Perlahan-lahan Ananta memperhadapkan wajahnya padaku. Sorot matanya sangat menyejukan, tidak ada lagi tatapan kosong seperti biasanya. "Kita cari Irene lagi?" Tanyanya mengulang kata-kataku.
Senyumku mengembang, air mata yang mulai membasahi pipiku tidak aku hiraukan. Mendapatkan responnya saja aku sudah merasa senang, apalagi ditambah dengan mendengar suaranya. Aku memeluknya dengan erat. "Iya, kita akan cari Irene!" Jawabku dengan lantang.
Ananta memang belum sembuh benar, ia masih seperti orang linglung dan aku memakluminya. Hampir sepuluh tahun ia hanya berkutat dengan emosinya dan mulai detik ini Ananta sudah mengalami kemajuan drastis. Aku tidak semata-mata membohongi Ananta dengan mengajaknya mencari Irene, aku berjanji akan mencari Irene hingga ketemu. Kalau Ananta bisa mempercayai Irene masih ada di luar sana, aku pun akan mendukungnya dan membantunya untuk mencari Irene. Putri kami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment