“Sudah selesai?” Sebuah
suara lembut nan merdu menyegarkan telingaku. Aku menoleh ke sumber suara yang
berasala dari seorang wanita berambut panjang yang berbalut dress berwarna
putih dengan corak batik. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Aku tidak
percaya Ananta sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tak ada lagi wajah
pucat dengan tatapan kosong. Rambutnya yang panjang tergerai rapi. “Apa pakaiannya aneh?” Tanya Ananta seraya
melihat pakaian yang dikenakannya.
Aku menggeleng cepat, tak
ingin melihat Ananta berpikir buruk sedikit pun. “Sama sekali tidak. Kamu
sangat cantik hari ini.” Pujiku dan menghampirinya. Kecupan ringan mendarat di
kepalanya.
“Baguslah. Aku takut
Eirene tidak menyukai cara berpakaianku saat kami bertemu nanti.” Ucapnya
seraya merapikan kerah kemejaku.
Hari ini kami memang akan
mencari Eirene, kembali. Setelah beberapa waktu lalu aku berjanji pada Ananta
akan mencari Eirene bersama-sama, akhirnya aku memiliki waktu luang untuk
menepati janjiku pada Ananta.
Kami berangkat tepat
pukul delapan pagi, saat Ananta memintaku untuk mengunjungi keadiaman kedua
orang tuaku. “Apa perlu kita ke sana? Bukannya kamu mau kita mencari Eirene?”
Ananta tersenyum manis. “Aku
mau minta restu sama mama dan papa, supaya kita bisa menemukan Eirene
secepatnya.”
Aku tertegun sejenak.
Mencerna baik-baik setiap kata dan keinginan baik yang Ananta tunjukan. Akan
tetapi, mama dan papa tidak mungkin bisa menerima dengan baik keinginan Eirene.
Bukan hanya Ananta yang dipikir gila, aku pun bisa dianggap gila oleh mama dan
papa. Di sisi lain, aku tidak mungkin menolak permintaan Ananta, aku takut
dirinya akan tersinggung dengan apa yang aku pikirkan. Pikiranku kini
berkecamuk, kalaupun aku menolak permintaan Ananta, aku harus memiliki alasan
yang masuk akal dan jangan sampai menyinggungnya.
“Aku akan bicara
baik-baik pada mama. Kamu jangan khawatir.” Ujarnya membuyarkan lamunanku. Aku
mengangguk lemas. Tak ada yang bisa aku lakukan, ketika Ananta sudah memiiki
keyakinan seperti itu.
Rumah kedua orang tuaku
berada tidak jauh dari kediaman kami. Kami hanya cukup menempuh waktu kurang
dari sejam dengan syarat jalan yang sedang tidak dipadati kendaraan lain. Mobilku
berhenti di depan sebuah rumah bergaya klasik dengan pintu gerbang cokelat yang
menjulang tinggi. Seorang satpam berdiri di samping pagar saat mobilku masuk ke
dalam halaman rumah klasik tersebut.
“Pagi, Den! Pagi, Non!”
Sapa seorang wanita paruh baya saat aku dan Ananta keluar dari mobil.
“Pagi, Bi. Mama sama papa
ada?” Tanya Ananta.
Nampaknya Bi ‘Nah –wanita
paruh baya yang bertugas bersih-bersih di rumah oran tuaku- juga terkejut
melihat keadaan Ananta. Aku bisa melihat pandangannya sekilas menatap ke
arahku. “Ada, Non. Nyonya dan tuan ada di dalam.” Jawab Bi ‘Nah yang membantu
membawa kantong plastic yang dipegang Ananta.
“Ananta?” Sapaan dari
mulut mama terdengar agak ganjil. Mungkin sama terkejutnya dengan Bi ‘Nah dan
juga aku.
“Pagi, Mam!” Ananta
menghampiri tubuh mama yang berdiri agak kaku dan memeluknya. “Ini Ananta
bawakan kue kesukaan mama.”Ujarnya lagi. “Pap, gimana kabarnya? Kakinya masih
suka sakit?” Ananta mencium tangan papa.
Sepertinya tidak ada satu
orang pun di rumah ini yang tidak terkejut dengan sikap Ananta yang baru, atau
bisa disebut, kesembuhan Ananta. “Kabar papa baik. Kaki papa juga sudah agak
baikan semenjak dikasih racikan obat dari kamu.” Ucap papa seraya memeluk tubuh
Ananta. Aku agak sedikit merasa haru melihatnya. Ananta memang sudah dianggap
anak oleh kedua orang tuaku.
Ananta dan mama berjalan
ke dapur, sedangkan aku dan pap berbincang-bincang di ruang keluarga. “Apa tadi
itu benar-benar Ananta?” Tanya papa yang sangat penasaran.
Aku mengangguk mantap. “Ya,
itu Ananta, istri Ryo dan maminya Eirene.” Kataku yakin.
Aku melihat masih ada raut
kebingungan di wajah papa, ia bahkan tak mampu berkata apapun lagi untuk
menunjukan rasa senangnya. “Bagaimana bisa?”
Aku menelan ludahku. “Aku
berjanji pada Ananta akan membantunya mencari Eirene.” Jawabku . Papa
sepertinya makin terkejut dengan jawabanku, tapi aku sudah berjanji pada
Ananta, terlebih pada diriku sendiri kalau aku akan mendukung keyakinan Ananta.
“Kalau Ananta saja yakin, Pap, Ryo nggak punya alasan untuk tidak ikut memiliki
keyakinan itu.” Aku menghela nafas sejenak, menunggu respon papa.
“Tapi, itu sudah lama,
Yo. Polisi saja sudah tidak mampu menemukannya. Apa salahnya kalau kalian
melupakannya. Cukup mendoakannya saja.”
Aku menggeleng perlahan.
“Ananta nggak mau kalau
nanti Eirene berpikir ayah ibunya tidak mencarinya saat ia hilang dari kami,
Pa.” Suara Ananta mengejutkan aku dan Papa. Di sebelahnya mama berdiri dengan
senyum tulus. “Ananta bisa mengerti mama dan papa pasti sedih dengan berpikir
keadaan Ananta yang seperti ini, tetapi Ananta berjanji akan membuktikan kalau
ucapan dan keyakinan Ananta itu benar, Pa. Eirene masih hidup di luar sana.”
Ujar Ananta begitu lantang. Aku bangkit dari sofa berwarna hitam dan merangkul
Ananta.
“Kami masih dalam
pencarian Eirene, Pap. Ryo dan Ananta hanya minta doa dari mama dan papa agar
Eirene bisa cepat bertemu dan kita semua pasti bisa berkumpul kembali.
Langkah mama menghampiri
papa. Aku bisa melihat senyuman dari bibir mama mengurangi keras kepala papa. “Aku
mau melihat cucuku lagi, Dre. Ananta benar, kalau Ryo pun hilang dari kita
tidak mungkin kita bisa melupakan Ryo begitu saja. Aku juga seorang ibu, Dre.
Batin seorang ibu pada anaknya sangat kuat dan jika batin Ananta merasakan
masih adanya kehidupan di diri Eirene, kita hanya bisa mendukungnya. Lewat doa,
Dre. “ Ujar mama yang akhirnya mampu meyakinkan papa.
“Aku akan menunggu
kehadiran Eirene.” Ucap papa yang membuatkami semua tersenyum. Pundak Ananta
yang dari tadi menegang kini sudah mulai lemas. Aku rasa Ananta lebih banyak
menanggung semua beban ini, daripada aku.
“Kamu berhasil, Hun!”
Bisikku di telinganya dan Ananta tersenyum manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your comment