Rabu, 30 November 2011

Good bye November


Drrrrtttrrrtt…Drrrttttrrrtt… Suara getar hp Caroline mulai mengganggu tidurnya. Ia mengulet sebentar, kemudian mencari-cari HP-nya dengan mata yang masih tertutup. Getaran yang makin keras membuat Caroline kesal dan beranjak dari tidurnya untuk mencari HP yang tak berperasaan miliknya.
“Berisik  aja, ya!” Gerutunya dan ia kembali menjatuhkan dirinya pada kasur empuknya.  Pastinya setelah ia yakin telah mematikan alarmnya.
Bukan kemalasan yang menjadi factor utama Caroline susah untuk bangun pagi. Ia hanya tak mau bangun dari setiap tidurnya. Setiap malam, di saait semua orang berharap mendapatkan nafas baru yang segar untuk esok hari, Carolline hanya meminta kalau diijinkan, ia tidak mau bangun di esok hari. Ia lelah terus merasakan kesedihan di sepanjang hari-harinya. Ia bosan harus terus teringat kenangan yang indah tapi menyakitkan untuk diriya. Kenangan yang mengingatkannya akan mantannya. Cowok yang ia kira baik, bahkan lebih baik dari semua cowok yang pernah ditemuinya, ternyata mampu menyakitinya. Cowok yang selalu berkata ‘aku sayang kamu’ dan ‘aku cinta kamu’, ternyata tega membiarkan dirinya menangis. Lebih-lebih hari ini adalah hari terakhir di bulan November. Perasaannya semakin kacau ketika ia mengingat hari natal. Hari dimana semua orang akan merasa senang, bahagia, penuh sukacita, tapi ia tetap harus menagis di dalam kesendiriaanya.
“CAROLINE!!” Sebuah suara mulai menggelegar dengan iringan gedoran pintu.
Caroline pura-pura tak dengar, ia mengambil bantal untuk menutup telinganya dan menarik selimut.
“Caroline!!! Bangun!! Kamu nggak mau kerja?!!” Suara nyokapnya Caroline kembali terdengar dengan suara yang lebih keras dan semangat menggedor-gedor pintu.
Suara yang begitu riuh memaksa Caroline untuk bangun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya. Telinganya agak bising juga mendengar teriakan yang diiring gedoran pintu yang dilakukan mamanya. “Iah, Olin bangun.” Katanya lemas dan ngeloyor pergi ke kamar mandi.
“Kamu itu, ya. Nggak pernah sadar-sadar! Usia kamu udh berapa? Masa untuk berangkat ke kantor aja mesti di bangunin….” Omel Nyokapnya Caroline panjang lebar.
“Kayak umur gue udah 30an ajah, baru juga 20.” Gerutunya.
“Apa?! Kamu jawab apa Caroline?”
“Ha? Nggak, Ma. Aku mandi ya!” Jawabnya dan langsung menutup pintu kamar mandinya.
20 Menit kemudian, Caroline baru saja keluar dari kamar mandi. Seperti biasa, butuh waktu hamper satu jam sampai Caroline benar-benar terlihat rapid an cantik. Setelah merasa yakin dengan pakaian dan tampilannya hari ini, ia segera keluar kamarnya. Tak lupa sesaat sebelum ia keluar, ia menatap ke cermin lagi. Ia ingin menimbulkan kepercayaan dirinya.
“Pagi, Caroline! Everything is ok! Be nice in your life!” Katanya menyemangati dirinya.
Usai Pamit kepada mamanya tersayang, Caroline pun langsung meluncur ke kantornya. Jarak antara kantor dengan rumahnya memang tidak terlalu jauh dan itulah yang menjadi alasan Caroine ‘senang’ datang paling siang dari semua karyawan yang bekerja di kantornya.
“Pagi, Mas Oni! Pagi Pak Yusuf!” Sapanya saat melihat dua teman kantornya sedang berdiri di depan kantor.
“Siang, De Caroline!” Jawab seorang cowok yang namanya Mas Oni, bermaksud menyindir Caroline.
“Ihh, Kan aku nggak telat.” Rajuknya pura-pura marah. Tanpa mempedulikan temannya yang rada usil itu, Caroline langsung ngeloyor masuk ke dalam kantor. “Pagi, Sya!” Sapanya semangat dengan tak lupa memamerkan senyumnya.
“Pagi. Kok semangat banget kamu, Lin? Ada apa?” Tanya Tasya yang agak heran.
“Hmm.. nggak ada apa-apa sih.” Jawabnya seraya mengabsen dirinya pada mesin absen otomatis. “Gue badmood, salah. Gue seneng, salah juga. Jadi gue mesti gimana dong, Sya!?” Tanyanya pura-pura bingung.
“Hahaha.. Lo tuh, ya. Kayak anak kecil aja candaan lu.” Ledek Tasya yang pandangannya tak lepas dari computer.
“Semua orang aja, hari ini bilang gue kayak anak kecil. Hhhh… seandainya gue tetep bisa jadi anak kecil. Anak yang nggak tau apa itu cinta, apa itu sakit hati, apa itu kecewa. Cape gue, Sya.” Keluh Caroline.
Hampir setiap hari Caroline mengeluh dan curhat tentang masalah-masalahnya. Khususnya masalah percintaan. Tasya memang sudah menjadi orang yang paling dekat dengan Caroline di kantor dan sampai saat ini Tasya tak pernah mengeluh sedikit pun kaena selalu mendengar Caroline megeluh setiap pagi.
“Aneh-aneh aja lu ngomong. Nggak enak juga kali jadi anak kecil terus. Kemana-mana ada yang ngikutin, trus nggak bisa pegang uang sendiri. Jadi, kalo lu mau belanja pas diskon, lu mesti minta dulu ama nyokap lu atau bokap lu. Mau lu kayak gitu?”
“Yaaah, nggak gitu juga, sih. Tapi sebel, Sya. Masa tiap hari gue harus inget dia, harus mimpiin dia. Sakit tau, Sya.”
“Caroline, lu tuh udah lama putus sama dia, kenapa sih masih dipikirin terus? Lu nggak kasian ama diri lu? Otak lu tuh masih bagus, masih banyak ide-ide kreatif yang terpendam di otak lu! Sayang banget kalo lu pake otak lu Cuma buat mikirin cowok yang bahkan nggak mikirin lu. Sekarang gue tanya, lu tau nggak sekarang dia lagi apa?”
Caroline melihat jam tangannya, “Kuliah.”
“Lu tau dia lagi kuliah. Sekarang gue tanya, apa dia tau sekarang lu lagi apa? Lagi kerja di mana? Dia nggak pernah mau tau tentang urusan lu, kan? So, sampai kapan lu begini terus?” Tanya Tasya agak keras, meskipun ia tak tega mengeluarkan suara yang tegas, tapi ia berharap ketegasannya itu bisa membuat temannya yang satu ini sadara kalau cowo yang bernama Octavian itu nggak pantes membuat dirinya terpuruk..
Caroline diam sejenak. Ia sebenarnya sadar dan sangat sadar kalau selama ini ia hanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang ia tau nggak mungkin pernah ia dapatkan. Selama ini ia hanya penasaran dan belum bisa terima kalau cowok yang katanya sayang dengannya hanya menganggapnya sebagai sahabat. Sekalipun mereka telah menjalin kasih selama satu tahun lebih. Bukan waktu yang sebentar bagi Caroline. Selama mereka pacaran, Caroline memang sering minta putus karena kesal dengan sikap acuh cowoknya, tapi ucapannya itu tak pernah terjadi. Ia tak pernah tega meninggalkan Octavian sendiri. Berali-kali Caroline menyerah, tetapi ia masih terus memberikan kesempatan untuk Octavian.
Akan tetapi, seperti air susu dibalas air tuba. Octavian tidak melakukan hal yang sama seperti Caroline. Delapan bulan lalu, ia menyatakan putus dan tidak memberikan Caroline kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Caroline pun tak merasa melakukan kesalahan, ia tak berselingkuh apalagi melakukan hal yang membuat Octavian marah. Berkali-kali ia meminta Octavian untuk balikan tapi tak pernah ada jawaban yang ia dapatkan. Sampai akhirnya suatu pertanyaan muncul dibenaknya.
“Sebenarnya sampai saat ini kamu masih sayang sama aku atau nggak sih?” Tanya Caroline saat ada kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Octavian.
Octavian hanya tersenyum seraya mengelus lembut rambut Caroline, “Aku akan selalu tetep sayang sama kamu. Kamu kan sahabat aku.” Ucapnya lagi dengan tulus.
Ketulusan dan kejujuran yang membuat Caroline ternganga. Ia tak habis pikir, semudah itukah seorang pria menganggap mantannnya sebagai sahabatnya. Atau kah selama ini Octavian hanya menganggapnya sebagai sahabat? Hati dan pikirannya terus berkecamuk. Pikirannya memaksa dirinya untuk berhenti berharap pada Octavian lagi, tetapi hatinya ingin terus berharap dan percaya kalau Octavian akan kembali menadi miliknya.
Caroline kembali berfikir dan mulai membuaka pikiran dan hatinya. Semua yang dikatakan Tasya memang ada benarnya. Selama ini, Octavian tak pernah mau menghubunginya. Tak pernah sedikit pun niat Octavian untuk peduli dan memikirkan keadaannya.
“Lin, lu tuh masih muda. Usia lu masih 21 tahun. Masa lu mau jadi perawan tua Cuma gara-gara tuh cowok? Lu bayangin deh tujuh atau delapan tahun lagi dia menikah dan lu masih stuck mikirin dia? Lu sendiri, Lin, yang rugi.” Kata Tasya memberikan wejangan lagi.
“Haaaa Tasya….. Masa dia nikah ama cewek lain? Trus gue?” Rajuk Caroline yang mulai kayak anak kecil.
Tasya menggedikkan bahunya. “Pilihan ada di pikiran dan hati lu. Lu mau move on and lanjutin hidup lu atau lu mau stuck mikiri dia yang nggak pernah mikirin lu.”
Caroline diam dan berfikir, “Terus kalo nggak ada pilihan, gimana, Sya?”
“Siapa bilang nggak ada pilihan? Lu tuh hanya senang berendam di dalam air mata lu. Lu nangis tiap malem, mikirn dia seharian. Apa ada gunanya? Apa bisa buat lu tambah kaya? Apa bisa buat di tiba-tiba datang ke sini? Gue rasa nggak, Lin.”
“Tasyaaaaa…”Rajuknya manja. Caroline hanya memeluk Tasya dan Tasya peraya kalau temannya yang satu ini sudah bisa memilih hal yang benar untuk kehidupannya.
***
Hari berganti malam. Langit yang gelap agak sedikit bercahaya dengan bertaburnya beberapa bintang yang berkelap-kelip. Tak ada lagi yang Caroline rasakan selain kelelahan. Hari ini cukup banyak pekerjaan yang dilimpahkan ke divisinya dan khususnya di mejanya.
Ia mengambil sebuah buku di laci meja komputernya. Sebuah buku yang sudah agak lusuh karna tak pernah ia pergunakan lagi. Buku harian yang dulunya selalu ia tulis stiap hari. Sebuah kewajiban bagi dirinya untuk menulis apa saja yang ia kerjakan dan ia alami sepanjang hari.
Caroline mulai mengambil pulpen dan menulis di halaman kosongnya.
Langit..
Sedihkah engkau jika tak ada bintang?
Bisakah kau tetap bercahaya meski tak ada bintang di sisimu?
Khawatirkah dirimu bila bintang pergi?
Tapi langit, sadarkah kau ada bulan yang setia denganmu
Sadarkah kau ada bulan yang akan memberimu cahaya
Langit…
Percayakah padaku…
Ketika apa yang kita harapkan pergi
Selalu dan akan selalu ada penggantinya
Pengganti yang setia menunggu kita sampai kita berpaling padanya..
Caroline menutup bukunya, ia kembali memandang langit. “Sudah cukup delapan bulan ini aku memberi kesempatan buat kamu untu kembali. Good bye November. Good bye Octavian.” Caroline menghela nafas sesaat. Air matanya mulai membasahi pipinya, tetapi dengan cepat ia mengusapnya. “Welcome December. Welcome my new prince.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your comment